Sekretaris Diskominfo Karimun Asal Ngomong???.
KARIMUN – Sikap dan ucapan pejabat publik tak ubahnya sebuah arsitektur etika yang mesti tegak kokoh di atas fondasi kejujuran dan akuntabilitas.
Namun, struktur ideal itu tampak runtuh di Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau, menyusul pernyataan serampangan Sekretaris Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik (Diskominfo), Irwan Dinopri, yang belakangan terbukti mengada-ada.
Klaim sepihak Irwan tentang adanya Memorandum of Understanding (MoU) kerja sama dengan Pemerintah Daerah Karimun melalui Diskominfo, kini menguap tanpa jejak. Pernyataan itu—diucapkan dalam sebuah percakapan beberapa waktu lalu—ternyata hanyalah ilusi birokrasi yang minim pertanggungjawaban.
Struktur Bohong Pejabat Publik
Klaim Sekretaris Irwan Dinopri bukan sekadar slip of the tongue. Dalam konteks kekuasaan dan pengaruh pejabat publik, setiap kata adalah mata uang kepercayaan yang beredar di ruang publik. Kebohongan yang diutarakan dari podium birokrasi dapat memicu kegaduhan, meruntuhkan trust masyarakat, dan bahkan berpotensi menjerat konsekuensi hukum.
“Menjaga mulut pejabat publik,”
Sebagaimana ditegaskan, bukanlah perkara sopan santun belaka, melainkan kewajiban etis, politis, dan legal. Sikap Irwan yang tidak bertanggung jawab dan faktual itu jelas menunjukkan kontradiksi tajam dengan nilai-nilai Pancasila yang menuntut kejujuran dan keberpihakan pada kebenaran.
Sebagai pejabat yang memiliki platform dan pengaruh besar, pesan Irwan cepat beresonansi, berpotensi dibingkai ulang oleh media, dan mengkristal menjadi narasi publik yang keliru. Faktanya, sumber di lapangan memastikan bahwa hingga saat ini, tidak ada satu pun MoU resmi antara pihak terkait dengan Pemda Karimun melalui Diskominfo.
Tembok Kebisuan dan Ketidakjelasan
Skandal MoU fiktif ini hanyalah puncak gunung es dari masalah yang lebih sistemik di Diskominfo Karimun.
Laporan yang dihimpun menunjukkan bahwa konfirmasi terhadap hampir semua kegiatan di dinas tersebut selalu berakhir dengan tembok kebisuan.
Saat dikonfirmasi lebih lanjut mengenai detail kerja sama—termasuk berapa banyak media yang telah melakukan MoU dan berapa nominal anggarannya—seorang staf Diskominfo bernama Sarip hanya dapat menjawab dengan janji.
“Nanti kita sampaikan dulu ke kabid,” kata Sarip. Namun, respons yang dijanjikan tak kunjung datang, menegaskan pola komunikasi yang tertutup dan alpa transparansi dalam pengelolaan informasi publik. Sikap ini berbanding terbalik dengan fungsi utama dinas yang seharusnya menjadi etalase keterbukaan informasi.
Desakan Evaluasi Total: Membongkar Fondasi Kinerja
Fenomena “mengada-ada” dan ketidakmampuan memberikan konfirmasi yang akurat ini memantik reaksi keras dari publik. Seorang warga Karimun yang hanya ingin disapa sebagai H di seputaran Padi Mas, menyampaikan kegeraman yang mencerminkan aspirasi publik.
“Sudah saatnya Bupati Karimun melakukan evaluasi total di Dinas Diskominfo Karimun, baik staf maupun pejabatnya. Agar pelayanan bisa semaksimal mungkin, karena banyak yang kita konfirmasi tak ada jawaban,” tegas H.
Permintaan evaluasi ini bukan sekadar pergantian personel, melainkan seruan untuk perombakan struktural dan mentalitas di Diskominfo.
Keberadaan pejabat yang melontarkan klaim palsu dan staf yang membangun tembok informasi menunjukkan perlunya intervensi serius dari pucuk pimpinan daerah.
Jika sebuah dinas komunikasi saja tak mampu mengomunikasikan datanya secara jelas dan jujur, bagaimana publik bisa menaruh harapan pada akuntabilitas pemerintahan daerah?.
Kasus Irwan Dinopri harus menjadi momentum audit etika dan pengawasan kinerja demi menegakkan kembali integritas birokrasi di Karimun. [SAJIRUN, S]





































