OPINI
Bayangkan pagi yang dingin di tahun 1965. Seorang wartawan muda melintasi jalanan berbatu dengan sepeda tuanya.
Di keranjang depan, terguncang-guncang mesin tik portabel dan segenggam kertas karbon.
Dia bukan sedang mengantar paket, tapi tengah mengejar berita—secara harfiah.
Profesi wartawan tempo dulu bukan sekadar menulis dan wawancara. Ia adalah gabungan antara detektif, pelari maraton, dan juru ketik kilat.
Tanpa internet, tanpa ponsel, semua informasi dikumpulkan dengan telinga tajam dan kaki gesit.
Sumber berita tak bisa dicari di Google; mereka harus ditemukan di warung kopi, terminal bus, atau bahkan di pos ronda malam.
Tekanan waktu? Jangan tanya. Deadline berarti harus menyerahkan naskah sebelum tukang cetak mulai memutar mesin offset yang berisik.
Wartawan menulis cepat, kadang di atas lutut, dengan tinta yang belepotan jika hujan turun.
Satu kesalahan ejaan bisa berujung teguran keras, bukan dari editor digital, tapi dari tangan dingin redaktur yang bisa membalik meja.
Bahkan untuk mengirim berita ke redaksi, mereka kadang harus naik oplet atau menitipkan naskah pada sopir bus antarkota.
Tak ada “send via email”, hanya amplop, perangko, dan harap-harap cemas.
Namun di balik kerepotan itu, ada romantika. Setiap liputan adalah petualangan.
Setiap berita yang berhasil terbit adalah hasil dari perjuangan yang tak main-main—bukan cuma soal akurasi, tapi juga soal fisik dan nyali.
Hari ini, profesi wartawan telah berubah. Teknologi menyulap ruang redaksi menjadi serba digital dan cepat.
Tapi, tak ada salahnya sejenak menoleh ke masa lalu—untuk menghargai mereka yang pernah menulis sejarah dengan tinta, peluh, dan semangat yang tak pernah padam. []