Oleh: Adhifatra Agussalim
Mukadimah
Minggu lalu kita dikejutkan oleh beberapa aktivis pengusung kemerdekaan Aceh, Papua dan Maluku melakukan orasi di Gedung PBB di Newyork, Amerika Serikat, pada saat kegiatan sidang yang membahas isu masyarakat adat (pribumi) di PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) sering disebut sebagai UNPFII _(United Nations Permanent Forum on Indigenous Issues)_ pada tanggal 21 April 2025. Sidang ini diadakan secara rutin setiap tahun dan membahas berbagai isu yang berkaitan dengan hak-hak, kesejahteraan, dan keberlanjutan hidup masyarakat adat di seluruh dunia.
Dalam langkah yang mengejutkan banyak pihak, pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto juga mengumumkan rencana pemberian amnesti kepada sejumlah tahanan politik Papua, termasuk beberapa tokoh separatis. Langkah ini disebut-sebut sebagai bagian dari upaya mendorong rekonsiliasi, mengakhiri konflik berkepanjangan, serta mempercepat pembangunan di Papua. Namun, di sisi lain, kebijakan ini juga memicu perdebatan sengit tentang implikasinya terhadap kedaulatan dan integritas nasional.
Amnesti sebagai Jalan Menuju Perdamaian
Amnesti menjadi persoalan yang diperdebatkan, apakah hanya satu satunya jalan menuju perdamaian.
Pemberian amnesti bukanlah sesuatu yang asing dalam dunia politik, terutama dalam konteks resolusi konflik. Pemerintah menganggap bahwa pendekatan militeristik semata tidak lagi cukup untuk mengatasi kompleksitas masalah Papua. Melalui amnesti, diharapkan para mantan separatis akan kembali ke pangkuan NKRI, mengurangi kekerasan, dan membuka ruang dialog damai yang lebih luas.
Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan RI, Budi Gunawan menyatakan bahwa amnesti ini akan disertai dengan syarat-syarat ketat, termasuk janji kesetiaan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan keterlibatan dalam program pembangunan daerah. Pemerintah optimis bahwa langkah ini akan mengubah pola hubungan antara negara dan rakyat Papua menjadi lebih inklusif dan penuh kepercayaan.
Ancaman terhadap Integritas Nasional?
Meski dimaksudkan untuk mendorong perdamaian, pemberian amnesti ini bukan tanpa risiko. Banyak kalangan nasionalis dan pemerhati keamanan mengkhawatirkan bahwa amnesti bisa dianggap sebagai bentuk “kelemahan” pemerintah dalam menghadapi gerakan separatisme.
Ada kekhawatiran bahwa kebijakan ini dapat memberi sinyal kepada kelompok separatis lainnya bahwa kekerasan bersenjata dan pemberontakan dapat “dihadiahi” oleh negara. Di tengah ketegangan geopolitik kawasan dan potensi intervensi asing terhadap isu Papua, konsesi semacam ini dinilai bisa melemahkan posisi tawar Indonesia dalam mempertahankan kedaulatannya.
Respon Publik dan Dunia Politik Indonesia
Tanggapan terhadap kebijakan amnesti ini beragam. Sebagian organisasi masyarakat sipil dan aktivis hak asasi manusia (HAM) menyambut baik langkah ini sebagai jalan keluar dari siklus kekerasan yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Mereka menekankan bahwa hak-hak dasar masyarakat Papua harus tetap menjadi prioritas, termasuk keadilan sosial, ekonomi, dan politik.
Sebaliknya, sejumlah anggota parlemen, khususnya dari partai-partai nasionalis, menyerukan evaluasi lebih dalam terhadap dampak kebijakan ini. Mereka mendesak agar proses pemberian amnesti melibatkan pengawasan ketat dan partisipasi masyarakat luas, bukan hanya keputusan politik di tingkat elit.
Mencari Titik Temu
Di tengah pro dan kontra yang mengemuka, satu hal yang jelas adalah bahwa persoalan Papua membutuhkan solusi yang komprehensif, tidak hanya berbasis kekuatan keamanan. Amnesti bisa menjadi langkah awal penting, tetapi harus diikuti oleh komitmen nyata untuk membangun kepercayaan, meningkatkan kesejahteraan, serta menjamin perlindungan hak-hak asasi masyarakat Papua.
Keberhasilan kebijakan ini akan sangat bergantung pada bagaimana negara memastikan bahwa pemberian amnesti bukan sekadar simbol politik, melainkan bagian dari strategi nasional yang konsisten, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Belajar dari penyelesaian Aceh di tingkat Internasional dengan penandatanganan Memorandum of Understanding (MOU) Helsinki tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang di dunia internasional dikenal Acheh Sumatera Nation Liberation Front (ASNLF) dan selanjutnya diturunkan dalam Undang – Undang Pemerintahan Aceh (UU PA) Nomor 11 Tahun 2006 juga bisa dijadikan _starting point_ secara komprehensif untuk jalan damai bagi Aktivis Kemerdekaan dan Rakyat Papua.
Kesimpulan
Amnesti untuk Aktivis Kemerdekaan Papua adalah pilihan kebijakan yang berani, dengan peluang besar untuk membawa perubahan, namun juga dengan risiko yang tidak kecil. Pemerintah harus cermat menyeimbangkan idealisme damai dengan keharusan menjaga kedaulatan negara. Dialog, pengawasan publik, dan keseriusan dalam implementasi kebijakan menjadi kunci agar jalan damai ini tidak justru menjadi awal dari keretakan baru di tubuh bangsa, perlu kebijaksanaan yang mendalam dan berwawasan kebangsaan secara ikhlas dalam implementasinya, semoga sesuai harapan para pendiri bangsa Indonesia. Amin Ya Rabbal Alamin, Wassalam.
Penulis: Sekwil DPD SWI Provinsi Aceh
Adhifatra Agussalim, CIP, CIAPA, CASP, CPAM, C.EML
Praktisi Internal Auditor, aktif sebagai Sekretaris DPW Sekber Wartawan Indonesia (SWI) Provinsi Aceh, dan sebagai Pemimpin Redaksi Media MNCCTVNEWS.COM, telah memiliki Certified Audit SMK3 Professional (CASP), Certified Professional Audit Manager (CPAM), Certified Internal Auditor Professional Advance (CIAPA), Certified Ilmu Philosophy (CIP), Sertifikat Kompetensi UKW Wartawan Muda dan juga tergabung sebagai Member of The Institute of Internal Auditors (IIA) Indonesia, Associate member Institute of Compliance Professional Indonesia (ICOPI), Member of Indonesia Risk Management Professional Association (IRMAPA) dan aktif dibeberapa komunitas penulis seperti Rumah Produktif Indonesia (RPI) dan juga Komuniti Antologi Secawan Kopi Selangor Darul Ehsan, Malaysia, serta KPKERS Dili, Timor Leste. []