Tri Hita Karana, Kepemimpinan Lokal dan Infrastruktur: Memperkuat Resiliensi Denpasar Terhadap Banjir Dalam Perspektif Kearifan Hindu Bali .
Oposisinews86.com – DENPASAR | Musibah banjir yang melanda Bali beberapa hari lalu memberikan gambaran tragis sekaligus reflektif mengenai ketangguhan sosial dan spiritual masyarakat.
Teori dan Filosofi: Tri Hita Karana dan Resiliensi Komunitas
Tri Hita Karana (Parhyangan, Pawongan, Palemahan) dalam dimensi Palemahan mendorong perlunya rekonstruksi infrastruktur yang menghormati keseimbangan alam.
Sedangkan Resiliensi Komunitas menekankan peran modal sosial, jaringan tradisional (banjar), dan praktik adat sebagai fondasi pemulihan.
Pemerintah Kota Denpasar dengan membangun posko di kelurahan dan melibatkan tokoh adat dan agama secara tidak langsung memanfaatkan kekuatan modal sosial itu.
Rekomendasi Kritis untuk Infrastruktur Bali (Denpasar)
Banyak hal yang harus dilakukan pasca musibah banjir yang dialami Bali khususnya Kota Denpasar.
Revitalisasi Sungai dan Drainase, misalnya. Pendangkalan perlu diatasi melalui pengerukan (dredging) berkala, restorasi daerah aliran sungai, serta penyediaan green buffer di sepanjang bantaran.
Tata ruang harus menghindari pemukiman di daerah rawan dan menambah ruang resapan seperti taman kota atau kolam retensi.
Selin itu Infrastruktur Hijau (Green Infrastructure). Perlu infrastruktur seperti bioretensi, permeable pavement, roof garden, dan hutan kota untuk menyerap limpasan air hujan, sesuai prinsip Palemahan dalam Tri Hita Karana.
Namun ada pula Penguatan Sistem Peringatan Dini Lokal dan Partisipasi Komunitas. Instalasi early warning system berbasis teknologi (sensor curah hujan, level sungai) yang diintegrasikan dengan jalur komunikasi banjar, kelurahan, dan pemuka adat/rohani.
Selain itu penguatan kapasitas Multi-Level Governance harus dilakukan.
Diharapkan Pemkot Denpasar perlu membentuk forum lintas sektor (pemkot, provinsi, BMKG, akademisi, tokoh adat/agama, NGO lingkungan) untuk perencanaan mitigasi jangka panjang, inklusif dan berbasis data ilmiah.
Begitu pula pelaksanaan pelatihan dan simulasi tanggap darurat rutin, seperti menyelenggarakan simulasi banjir melibatkan warga, relawan, dan OPD; pelatihan ini juga dapat menjadi ruang edukasi filosofi Hindu seperti Tri Hita Karana sebagai landasan sosial budaya.
Kita harus mengambil pelajaran dari Jakarta dengan Inovasi Infrastruktur Besar serta Penguatan Masyarakat. Dapat dilihat Jakarta yang membangun sodetan dan sistem drainase besar, Denpasar perlu menambah investasi struktural, namun tidak melupakan pendekatan bottom-up yang memanfaatkan lokalitas.
Kepemimpinan Lokal dan Respons Tanggap Darurat
Tidaklah luput dari penanganan daerah terhadap situasi bencana yang terjadi, tidak bisa dipungkiri bahwa gaya kepemimpinan seseorang pejabat public atau wakil rakyat dapat kita lihat dari tindakan cepat berupa penetapan status tanggap darurat, pendirian posko terpadu di tingkat kelurahan hingga kota, serta instruksi pendataan korban kepada perbekel dan lurah.
Status ini digunakan untuk menyinergikan seluruh elemen pemerintahan (OPD), lembaga adat, hingga pihak TNI dan Basarnas.
Bila kita melihat secara teori, pendekatan ini mencerminkan teori governance kolaboratif dalam penanggulangan bencana: gaya kepemimpinan distributed leadership, yakni membagikan peran kepada berbagai aktor (desa, kelurahan, OPD) agar respons lebih adaptif dan lebih cepat.
Hal ini sejalan dengan literatur manajemen bencana yang menekankan pentingnya multi level governance dan koordinasi antar sektor untuk efektivitas tanggap darurat.
Perbandingan Kesiapan Pemerintah: Denpasar vs Jakarta
Bila kita bandingkan hal yang terjadi di Ibukota Jakarta. Pasca banjir besar 2025, pemerintah DKI menerapkan pendekatan infrastruktur besar seperti peningkatan kapasitas Sungai Ciliwung, penataan sodetan, serta pembangunan mega drainase dan penambahan ruang terbuka hijau.
Namun, tantangan muncul karena perbedaan persepsi antara pemerintah dan masyarakat mengenai risiko banjir, serta hambatan kolaborasi dalam pengambilan keputusan mitigasi risiko (Studi: Kampung Melayu).
Dibandingkan dengan Jakarta, respons Denpasar lebih operasional (posko dan koordinasi cepat), namun problem infrastruktur seperti sistem drainase, kapasitas sungai, tata ruang daerah aliran sungai (DAS) belum banyak dibenahi secara struktural.
Analisis Infrastruktur dan Kebijakan Hidrologis
Dalam Modul Pengelolaan Risiko Banjir oleh PUPR disebutkan bahwa penyebab banjir sering berkaitan dengan interaksi antara faktor alam (curah hujan tinggi, geomorfologi sungai) dan human intervention seperti pendangkalan sungai, pemukiman di daerah DAS, dan berkurangnya resapan air.
Sibangkoman Ini relevan dengan kasus Bali, di mana daerah hulu sungai yang rapuh serta urbanisasi tanpa pengendalian efektif memicu peningkatan debit sungai.
Kesimpulan
Kasus banjir di Bali menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan lokal yang kolaboratif dan responsif dapat mempercepat mitigasi darurat.
Namun, tanpa pembenahan infrastruktur yang berkelanjutan serta integrasi filosofi Tri Hita Karana, tindakan cepat saja tidak cukup memastikan resiliensi jangka panjang. Pembelajaran dari Jakarta dan provinsi lain menegaskan perlunya kombinasi antara infrastruktur fisik yang memadai dan partisipasi masyarakat serta kearifan lokal sebagai fondasi penanggulangan bencana.(red)
Oleh DR.DRA.Ni Nengah Karuniati.,M.AP