Sumbawa Besar, oposisinews86.com, (Senin 17 November 2025),— Pernyataan tegas kembali dilontarkan Ketua LSM GEMPAR NTB, Rudini, S.P., merespons klaim Koperasi Tambang Selonong Bukit Lestari yang disebut telah menyalurkan Sisa Hasil Usaha (SHU) ke 29 desa sebagai bukti keberhasilan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) Lantung. Menurutnya, narasi yang di beritakan oleh beberapa media online dan televisi, bukan hanya menyesatkan, tetapi patut diragukan secara akademis, logis, maupun faktual.
Rudini menilai publik sedang disuguhi tontonan seremonial yang dibungkus seolah-olah sebagai pencapaian besar. Padahal, kata dia, keberhasilan IPR tidak dapat diukur dari panggung acara atau pembagian dana yang muncul tiba-tiba tanpa dasar data yang sahih.
“Terdapat indikator teknis, kontekstual, dan sosial-ekonomi yang justru tidak tampak sama sekali,” tegasnya, saat di wawancarai awak media, Senin (17/11/2025) siang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia membeberkan sederet kejanggalan mendasar yang masih mengelilingi IPR Lantung. Dokumen lingkungan seperti AMDAL atau UKL-UPL hingga kajian dampak sosial belum jelas keberadaannya. Proses sosialisasi dan pemetaan sosial—yang seharusnya menjadi prasyarat etis pembangunan berbasis masyarakat—pun disebut belum dilakukan secara menyeluruh.
“Data produksi tidak pernah dipublikasikan. Transparansi nol. Bahkan stakeholder teknis seperti ESDM maupun DLH tidak dilibatkan secara formal. Dengan kondisi demikian, dari mana sumber klaim keberhasilan itu?” ujarnya.
Menurut Rudini, sebuah program pertambangan rakyat hanya dapat dinilai sukses apabila seluruh tahapan dijalankan secara ilmiah, terukur, dan terbuka. Tanpa itu, klaim keberhasilan hanyalah ilusi.
Lebih jauh, ia menyoroti kejanggalan paling mencolok: pembagian SHU yang dilakukan hanya dalam rentang sekitar 2,5 bulan sejak kegiatan berjalan.
“Secara manajemen organisasi, itu tidak masuk akal. Tidak ada bisnis koperasi yang mampu menghasilkan surplus dalam waktu sesingkat itu, apalagi tanpa pemaparan baseline ekonomi, laporan produksi, maupun mekanisme transparansi. Formula pembagian SHU sama sekali tidak dijelaskan. Publik sedang diarahkan percaya pada sesuatu yang tidak dibangun dengan data,” kritiknya.
Rudini juga memperingatkan potensi besar bahwa IPR Lantung tengah digiring menjadi instrumen pencitraan dan alat politik kelompok tertentu, bukan sebagai instrumen peningkatan kesejahteraan warga sebagaimana mandat regulasinya.
“Jika IPR diseret masuk ke panggung kepentingan kelompok, maka yang paling awal menjadi korban adalah masyarakat sendiri. Aturan dilangkahi, data diabaikan, dan etika kebijakan dinafikan,” tegasnya.
Menutup pernyataannya, Rudini menyampaikan pesan keras yang sekaligus menjadi pengingat publik.
“IPR itu baik, kami mendukung. Tetapi jangan jadikan ini panggung skenario busuk. Semua harus dibuktikan dengan data, proses, dan akuntabilitas. Publik berhak melihat fakta, bukan fantasi,”tutupnya. (Af)





































