Sumbawa Besar, NTB,– Ketika suara rakyat tak lagi didengar, jalanan menjadi ruang terbuka terakhir untuk menyampaikan harapan. Begitulah yang kini terjadi di Poto Tano—sebuah titik kecil yang menjadi saksi besar dari kekecewaan dan perjuangan panjang masyarakat Pulau Sumbawa. Mereka yang tergabung dalam gerakan Provinsi Pulau Sumbawa (PPS) kembali menyuarakan aspirasi yang telah mereka perjuangkan selama lebih dari dua dekade.
Padahal, para pejuang PPS datang dengan niat damai. Mereka ingin berdialog, ingin menyampaikan aspirasi tanpa kekerasan. Tapi ruang itu seperti ditutup rapat. Mereka tidak diberi tempat, tidak diberi waktu, dan tidak diberi pilihan. “Poto Tano mungkin bukan tempat yang benar,” kata seorang jurnalis lokal dalam tulisannya yang viral di media sosial, “tapi tidak ada lagi tempat layak untuk mencapai kebenaran.”
Aksi massa yang kemudian terlihat anarkis bukanlah kehendak, melainkan kondisi yang memaksa. Jalur menuju Pelabuhan Poto Tano hanya satu: jalan lintas Sumbawa. Ketika aksi dihadang, aspirasi seakan dibungkam. Dan ketika suara dibungkam, tindakan spontan seringkali menjadi pelampiasan—sesuatu yang bisa dihindari jika negara membuka ruang negosiasi terbuka dan adil.
PPS bukan sekadar wacana politis yang muncul lima tahun sekali. Ini adalah jejak sejarah yang dimulai lebih dari 20 tahun lalu. Berbagai media telah mencatatnya, para tokoh masyarakat telah menggaungkannya, dan masyarakat telah mendukungnya dengan penuh semangat. Tapi yang terjadi hari ini hanya buntut panjang dari kekecewaan yang belum pernah menemukan titik terang.
“Negara tidak adil, apabila moratorium pemekaran tidak dibuka,” tulis sang jurnalis dalam unek-uneknya. Pembatasan pemekaran wilayah berarti membatasi hak daerah untuk berkembang. Jika alasan pemerintah adalah karena banyaknya daerah baru yang gagal mandiri, lalu apakah kegagalan itu sudah benar-benar dianalisis? Apakah sudah dievaluasi untuk menjadi pembelajaran bagi daerah lain?
Sumbawa percaya, kegagalan bukan alasan untuk menghentikan perubahan, tapi bahan untuk membangun lebih baik.
Pemerintah juga tak bisa terus bersembunyi di balik dalih keterbatasan anggaran. Rakyat melihat sendiri bagaimana uang negara seringkali mengalir bukan ke daerah tertinggal, tetapi ke kantong para oknum. Korupsi telah menjadi luka lama yang tak kunjung sembuh, dan justru itulah yang seharusnya diperangi—bukan aspirasi rakyat untuk mekar dan mandiri.
Rakyat Sumbawa hanya ingin haknya dipenuhi. Hak untuk memiliki provinsi sendiri, hak untuk menentukan arah pembangunan sendiri, dan hak untuk didengarkan sebagai bagian dari bangsa ini.
“Merdeka hak, merdeka kebebasan, merdeka untuk berkembang,” begitu tulis sang jurnalis di akhir pesannya.
<span;>Tagar yang digaungkan pun menggema di media sosial:
#PPSBukanCeritaDongeng
#ProvinsiPulauSumbawa.
Kini, tinggal bagaimana negara menyikapi suara ini. Apakah terus menutup telinga, atau membuka mata dan hati untuk menyongsong Indonesia yang lebih adil dan merata. (Red)




































