Oleh: Nazwar, S. Fil. I., M. Phil. (Penulis Lepas Lintas Jogja Sumatera)
Sumatera – Coba perbandingkan, satu kitab versi tertentu mengungkan angka yang berbeda dengan versi lain meski sama-sama dikelurkan oleh lembaga yang sama. Ungkapan ayat tentang jumlah yang berbeda antar Kitab.
Hal tersebut di Ungkapkan salah seorang Apologet dalam suatu diskusi tentang keotentikan kitab suci. Memaknai kebenaran dalam manifestasi dan simbolisasi angka-angka dan menyangsikannya sebagai suatu pertentangan bukanlah hal baru.
Disiplin matematika selain dikenal bersifat identik sehingga diklasifikasikan sebagai ilmu pasti, namun juga sebagai logika pengkhianat. Dibentuknya logika Matematika memiliki konsekuensi berupa penyederhanaan realita.
Kenyataan yang holistik menyerupai skema sesederhana yang terpusat pada angka-angka. Maka jika tidak hati-hati, dapat terbentuk pandangan absolut yang darinya menjadi membentuk konsep tentang realita dan kebenaran yang dengan bermasalah.
Matematika sebagai logika independen selain mengandung esensinya sebagaimana konsep pemikiran lainnya, sebenarnya adalah bersifat arbitrer dan justru inkonsisten. Pengkhianatan terhadap formulasi realita atau konseptualisasi terhadapnya merupakan esensi yang juga terdapat pada konsep pemikiran manusia pada umumnya. Maka mewaspadai metode yang diberlakukan perlu selektif utamanya dalam memahami kitab suci.
Keistimewaan menjadi setia
“Kesetiaan mengalahkan segalanya” Sayyed Hoessein Nasr. Menjadi setia dalam arti mengikuti secara khidmat dan sungguh serta senantiasa berhati-hati terhadap suatu ajaran merupakan suatu keistimewaan. Konsekuensi dari menyangsikan pemikiran manusia dan mengutamakan ketuhanan tentunya tidak seimbang namun merupakan keutamaan berupa kelebihan dan berlipat kebaikan.
Memilih setia dan berkomitmen untuk menerapkan aturan atau perintah Tuhan dengan jalan pilihan tersebut istimewa. Menjadi penganut agama dan taat dalam arti sesungguhnya berikutnya akan menjawab semua kesangsian dan persoalan-persoalan termasuk pemahaman ketuhanan.
Mewaspadai para penyimpang
Para penyimpang yang paling tinggi tentunya ditunggangi oleh Iblis dan bala tentaranya untuk menciptakan dosa dan permusuhan dengan keturanan Adam sejak semula. Godaan Iblis bahkan dapat merasuk ke dalam hati manusia baik melalui bisikan, usaha penanaman jejaknya secara perlahan, sampai pada menarik perhatian sebagai jerat agar menjadi pengikutnya di dalam Jahanam.
Setan sebagai bagian dari bala tentaranya ternyata tidak hanya dari golongan jin namun juga manusia. Maka kewaspadaan terhadap jerat mereka perlu diperhatikan. Sebagaimana kesesatan adalah untuk tujuan kebinasaan, alat yang digunakan untuk menjerat pengikut adalah suatu usaha nyata menjerumuskan umat manusia selain dengan berbagai cara dan segala arah.
Bukan tidak mungkin, “ghozwul Fikri” atau perang pemikiran dibutuhkan tatkala pemikiran manusia dijadikan bagian dari jerat sesat atau menghalangi jalan kebenaran atau sekedar menjadikannya dibenci manusia.
Kenyataan bahwa terdapat golongan atau orang yang menyimpang dan sengaja menyembunyikan atau mengubah kebenaran menjadi bukti eksistensi manusia yang lebih condong pada keinginan khas manusia seperti kebutuhan keduniaan dan lain-lain. Kisah Samiri di kalangan Yahudi, atau perilaku kaum Yahudi terhadap Nabi Uzair secara berlebihan atau oknum pendeta dari Nasrani yang menulis sesuatu dengan mengatakan hal tersebut adalah ayat Allah.
Maka peran “anshaarullah” atau penolong agama Allah adalah penting dimainkan. Sebab usaha mengungkap kekurangan atau kesalahan dengan kebencian atau rasa putus asa dalam mencari kebenaran dengan tidak menghadirkan kebenaran justru merekalah yang bermasalah dan dituntut untuk menunjukkannya.
Mereka yang menuntut kebenaran dengan cara tersebut sesungguhnya berpotensi terdapat motif jika tanpa maka darinya membutuhkan afirmasi atasnya. []