Karimun/Kepri – Di tengah riuh aktivitas Pelabuhan Tanjung Balai Karimun, sebuah proyek perehapan bangunan berjalan dalam senyap. Kasat mata, namun gelap informasi. Tak secuil pun papan nama proyek terpasang, mengibarkan bendera tanya tentang akuntabilitas di salah satu gerbang ekonomi Kepulauan Riau.

Proyek ini diduga kuat menabrak serangkaian regulasi fundamental negara tentang transparansi publik. Pekerjaan fisik itu kini menjadi monumen bisu yang menantang setidaknya tiga Peraturan Presiden—No. 54 Tahun 2010, No. 70 Tahun 2012, dan No. 16 Tahun 2018—yang secara eksplisit mewajibkan transparansi pengadaan barang dan jasa pemerintah, salah satunya melalui papan informasi proyek.
Lebih berat lagi, proyek ini berpotensi mencederai amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), pilar utama pengawasan publik di era demokrasi.
Papan informasi proyek bukanlah sekadar formalitas birokrasi.
Ia adalah fondasi arsitektural dari sebuah proyek publik yang akuntabel. Fungsinya vital sebagai kontrol publik, mata dan telinga masyarakat untuk mengawasi spesifikasi, biaya (pagu anggaran), durasi, dan pelaksana proyek. Tanpa elemen dasar ini, sebuah proyek yang menggunakan fasilitas publik tak ubahnya sebuah “proyek siluman”.
“Kalau seperti proyek ini, tak ada informasinya, ini namanya proyek siluman,” ujar seorang sumber yang berkecimpung di area pelabuhan, Selasa (13/11/25).
Sumber yang meminta anonimitas demi keamanan itu menegaskan kebingungan publik. “Masyarakat bisa tahu proyek apa, pagu anggarannya berapa? Siapa yang mengerjakan, konsultannya siapa? Ini kan tidak ada,” lanjutnya, menyoroti hilangnya hak dasar publik untuk mengetahui penggunaan uang negara.
Namun, ketika pilar transparansi ini dikonfirmasi, jawaban yang datang dari PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) justru membangun sekat baru. Raja Junjungan Nasution, Pengawas dari Pelindo Tanjung Balai Karimun, memberikan dalih yang mengejutkan. Menurut Raja, Pelindo sebagai BUMN memiliki landasan hukum internal yang berbeda.
“Soal plang pekerjaan, bahwa secara aturan pengadaan barang dan jasa PT Pelabuhan Indonesia sebagai BUMN tidak ada kewajiban untuk memasang plang pekerjaan,” kata Raja Junjungan.
Ia menegaskan bahwa proses pemilihan dan penetapan pelaksana berpedoman pada Peraturan Direksi PT Pelabuhan Indonesia (Persero). Pernyataan ini secara implisit menempatkan regulasi internal korporasi di atas Peraturan Presiden dan Undang-Undang yang mengatur hajat hidup publik.
Klaim Pelindo ini sontak memicu pertanyaan fundamental yang jauh lebih serius daripada sekadar papan nama proyek. Persoalannya kini bergeser pada isu supremasi hukum.
Mampukah sebuah Peraturan Direksi BUMN— sebuah badan usaha milik negara yang modalnya berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan—menganulir (membatalkan) kewajiban yang diatur oleh Peraturan Presiden dan, lebih tinggi lagi, sebuah Undang-Undang? Keresahan ini disuarakan dengan lantang oleh sumber di lapangan, yang mempertanyakan kedaulatan hukum Indonesia di wilayah BUMN.
“Harapan kita dari Kejari Karimun, ada penyelesaian tentang perlu tidaknya plang proyek ini… Apakah Pelindo di luar Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga punya aturan sendiri?” tegasnya.
Pertanyaan retoris namun tajam itu kini menggema. Publik menanti sikap aparat penegak hukum—Polres Karimun dan Kejaksaan Negeri Karimun—untuk tidak hanya mengawasi fisik bangunan, tetapi juga mengaudit legalitas tindakan korporasi yang berlindung di balik aturan internalnya sendiri, sementara di saat yang sama mengabaikan mandat transparansi nasional.
Jika dibiarkan, ini sangat berbahaya, membiarkan aset negara dikelola dalam kerahasiaan dan berisiko membuat uang rakyat menguap tanpa pengawasan. [SAJIRUN, S]





































