BATAM – Aktivitas penambangan ilegal jenis Cut and Fill di kawasan Bukit Perkemahan, Kecamatan Nongsa, Batam, terus berlangsung tanpa henti. Warga resah, lingkungan terancam, sementara aparat penegak hukum seolah tak berdaya. Muncul dugaan bahwa seorang berinisial Amir menjadi otak di balik kegiatan ini, yang telah berjalan selama dua tahun terakhir.
Pertanyaan besar pun mengemuka: Siapa sebenarnya Amir sehingga ia diduga “kebal hukum” dan mampu menjalankan bisnis ilegal ini dengan begitu leluasa?
Kegiatan penambangan ini bukan sekadar pengerukan tanah biasa. Berdasarkan pantauan di lapangan, sejumlah alat berat—termasuk excavator dan traktor—bekerja tak kenal lelah meratakan bukit.
Puluhan truk dam hilir mudik setiap hari, mengangkut tanah yang dikeruk dari lokasi tersebut. Warga Punggur yang tinggal di sekitar area merasa sangat dirugikan, tidak hanya oleh kebisingan dan lalu lintas truk yang mengganggu, tetapi juga karena kekhawatiran akan dampak lingkungan jangka panjang.
Seorang warga yang enggan disebutkan namanya Selasa (19/08/2025) mengungkapkan, “Aktivitas ini sudah dua tahun berjalan, katanya punya seorang yang berinisial Amir.” Pernyataan ini diperkuat oleh warga lain di Bukit Perkemahan yang berharap besar agar Kapolda Kepri, Asep, dan jajarannya mengambil tindakan tegas. “Jika dibiarkan, pasti akan berdampak serius bagi lingkungan sekitar. Kami yakin Polda Kepri tahu, tapi tidak ada tindakan yang dilakukan. Itu yang membuat kami bertanya-tanya,” ujarnya.
Aparat Terkesan Lepas Tangan, Oknum Ikut Bermain
Respons dari pihak berwenang terkesan pasif. Kusnan, dari Direktorat Pengamanan Aset (Ditpam), saat diwawancarai, menyatakan bahwa kegiatan ini pada dasarnya ilegal. Namun, ia mengakui bahwa Ditpam tidak bisa bertindak sendiri. “Kita pun tidak bisa melakukan tindakan sendiri, paling tidak kalau hal seperti ini kan harus ada namanya, harus gabungan antara BP Batam, Ditpam, Polsek Nongsa, dan seluruh instansi terkait (Tim Terpadu),” jelasnya.
Pernyataan ini menimbulkan kesan bahwa penindakan terhadap kegiatan ilegal tersebut terbentur oleh koordinasi antar lembaga yang tidak berjalan.
Menariknya, di tengah polemik ini, muncul dugaan keterlibatan oknum wartawan yang “membekingi” aktivitas penambangan liar tersebut. Jika dugaan ini benar, hal ini merupakan pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
Sanksi pidana bisa menjerat oknum tersebut, karena ia menyalahgunakan profesinya, mencederai independensi, dan gagal menjalankan fungsi kontrol sosial yang seharusnya diemban oleh pers.
Dewan Pers sendiri menegaskan bahwa wartawan yang melakukan pemerasan atau tindakan ilegal lainnya tidak dilindungi oleh UU Pers dan penanganannya dapat diserahkan ke jalur pidana.
Kisah penambangan liar di Nongsa ini menjadi cermin nyata dari karut-marut penegakan hukum dan lemahnya koordinasi antarinstansi. Di satu sisi, lingkungan terancam dan warga hidup dalam ketakutan.
Di sisi lain, para pelaku bisnis ilegal seolah mendapatkan “lampu hijau” untuk terus beroperasi, didukung oleh dugaan adanya oknum-oknum yang memanfaatkan situasi. Pertanyaannya kini, sampai kapan kondisi ini akan terus dibiarkan? Apakah benar ada pihak yang begitu berkuasa hingga bisa melangkahi hukum di Batam?. [ALBAB]