SUBULUSSALAM — Eskalasi ketegangan antara masyarakat dan raksasa sawit, PT. Laot Bangko, mencapai titik didih. Setelah sekian lama memanas, aktivitas pembuatan “Parit Gajah”—diduga menjadi instrumen ekspansi lahan yang meresahkan—di areal perusahaan akhirnya dihentikan paksa oleh Pemerintah Kota Subulussalam. Langkah tegas ini menjadi penentu: apakah pemerintah berpihak pada rakyat kecil atau kembali tunduk pada cengkeraman korporasi.
Perintah Tegas di Tengah Badai Konflik
Keputusan mengejutkan itu tertuang dalam surat resmi berjuluk “Tangan Besi” dengan nomor 525/470/2025, diteken pada 30 September 2025. Plt. Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan Kota Subulussalam, Sarkani, SH, tanpa tedeng aling-aling memerintahkan penghentian sementara seluruh kegiatan pembuatan parit gajah di areal PT. Laot Bangko.
“Seluruh kegiatan pembuatan parit gajah dihentikan sementara sampai batas waktu yang tidak ditentukan,” demikian bunyi perintah krusial dalam surat tersebut, yang salinannya ditembuskan ke lembaga-lembaga kunci mulai dari Walikota, DPRK, Polres Subulussalam, hingga Kementerian ATR/BPN.
Penghentian ini bersifat mandatori, berlaku hingga Badan Pertanahan Nasional (BPN) Aceh menyelesaikan pengukuran ulang lahan secara komprehensif, dan pemerintah mengeluarkan keputusan final yang berkekuatan hukum.
Euforia di Atas Kertas: Masyarakat Menuntut Aksi Nyata
Sambutan masyarakat, khususnya kelompok tani Jongkong Mersada, terhadap surat penghentian ini bercampur antara lega dan skeptisisme. Mereka menilai langkah ini baru permulaan, sebuah formalitas yang harus diuji di lapangan.
“Kami bukan menolak pembangunan, tapi jangan sampai hak masyarakat dikorbankan demi kepentingan perusahaan,” ujar seorang perwakilan kelompok tani dengan nada menantang. “Pemerintah harus benar-benar tegas, jangan hanya sebatas kertas.”
Kritik pedas juga datang dari aktivis lokal.
Mereka mendesak agar Pemko Subulussalam tidak berhenti pada penertiban parit semata.
“Kalau pemerintah serius, hentikan izin perusahaan yang jelas-jelas sudah meresahkan masyarakat. Jangan tunggu konflik makin besar,” imbuhnya, seolah menuntut pertanggungjawaban yang lebih substansial.
Ujian Keberanian Pemerintah: Surat Formalitas atau Eksekusi Total?
Keputusan ini kini menggantungkan nasibnya pada kemauan eksekusi di lapangan.
Apakah surat bernomor 525/470/2025 ini akan menjadi senjata pamungkas untuk menegakkan keadilan agraria, ataukah hanya akan menjadi tumpukan arsip formalitas yang tak bertaring?
Pemerhati kebijakan publik, Parlin Siburian, dengan lantang menegaskan dilema ini: “Pemerintah tidak boleh main-main dalam kasus ini. Surat sudah jelas, tinggal kemauan untuk menindak.
Kalau tidak, rakyat akan menilai pemerintah lebih takut pada perusahaan ketimbang membela masyarakat.”
Bola panas kini berada di tangan eksekutif Subulussalam.
Publik menantikan, dengan napas tertahan, apakah otoritas lokal ini akan lulus dari ujian keberanian historis, membuktikan keberpihakan total kepada rakyatnya, ataukah kembali terjerat dalam bayang-bayang kepentingan korporasi besar. Jeda sementara ini adalah waktu penghakiman yang sesungguhnya. [Parlindungan]