DARAH PENGKHIANAT G30S/PKI, DALAM LUKA KOLEKTIF DAN TANTANGAN GENERASI MUDA

REDAKSI NTB

- Redaksi

Rabu, 1 Oktober 2025 - 00:41 WIB

5049 views
facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

DARAH PENGKHIANAT G30S/PKI, DALAM LUKA KOLEKTIF DAN TANTANGAN GENERASI MUDA

 

Oposisinews86.com – DENPASAR | Malam 30 September 1965 adalah bab kelam yang terus membekas dalam nadi bangsa. Di balik kabut dan keheningan, tangan-tangan pengkhianat merenggut nyawa para jenderal, meremukkan harapan, dan menyuntikkan teror ideologi ke dalam tubuh negara.

ADVERTISEMENT

banner 300x250

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kisah ini bukan sekadar sejarah yang sudah lampau ia adalah peringatan hidup agar darah pengkhianat tak kembali mengalir dalam jiwa generasi penerus.
Saksi Mata: Sukitman dan Blasius Mata yang Tak Bisa Dibungkam
Kisah para saksi hidup menambah nyawa pada fakta sejarah yang kadang mudah dipoles menjadi narasi tunggal.

Seorang polisi muda bernama Sukitman ikut diculik saat patroli malam dan dibawa ke Lubang Buaya. Meski sempat mengalami tekanan bahaya, ia berhasil melarikan diri dan kemudian menjadi saksi kunci lokasi penguburan para korban. Berdasarkan kesaksian Sukitman, pada 3 Oktober 1965 ditemukan timbunan tanah dan sampah di lokasi kebun karet di Lubang Buaya, yang diduga tempat penguburan jenazah para jenderal.

Ada juga kesaksian dari Joseph Blasius Bapa, yang dalam beberapa dokumenter disebut sebagai “satu-satunya saksi hidup G30S/PKI” yang masih menceritakan kondisi lubang penguburan, kondisi korban, dan detail suasana malam itu.

Kedua saksi ini dalam tekanan ancaman, ketakutan, dan beban sejarah memberi secercah cahaya atas kebisuan yang terlalu lama membungkus luka kolektif bangsa.
Data Statistik: Luka yang Tak Terhitung dengan Mudah
Mengukur jumlah korban dalam tragedi ini sangat sulit, namun banyak penelitian dan sumber menyebutkan skala kekejaman yang luar biasa.

Menurut kajian tentang pembunuhan massal Indonesia 1965–66, angka korban diperkirakan antara setengah juta hingga satu juta orang. Beberapa estimasi lain bahkan menyebut angka yang lebih tinggi (2–3 juta) dalam versi narasi ekstrem, meskipun konsensus ilmiah lebih terkonsolidasi pada kisaran 500.000–1.000.000 jiwa. Situs Tribunal 1965 menyebut bahwa pembantaian melibatkan peran militer dan kelompok lokal, serta menargetkan simpatisan PKI, yang seringkali tanpa bukti kuat.

Baca Juga :  Di Tengah Padatnya TMMD, Dansatgas dan Wadan Satgas Motivasi Paskibraka Kecamatan Buer

Dalam dokumen terkait pembunuhan massal, dikatakan bahwa kekerasan meluas dari Jakarta ke Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan daerah lain, melibatkan penghunian lokal, milisi, warga sipil dan tim kekuatan negara.

Angka-angka ini bukan sekadar statistik; mereka adalah korban nyata keluarga tanpa nama, wajah-wajah yang terbunuh dalam bisu.
Teori Sosial-Politik dan Ingatan Kolektif Memori sebagai Benteng Identitas
Untuk memahami mengapa peristiwa kelam seperti ini tak boleh dilupakan dan mengapa generasi muda perlu “disiplin ingatan” kita dapat merujuk pada beberapa teori:

(a) Ingatan Kolektif (Collective Memory) dan Monumen, menurut teori ingatan kolektif (Halbwachs dan pengembangan teori memori sosial), masyarakat menyimpan kenangan bersama melalui narasi, ritual, dan situs-situs penting. Monumen, museum, situs peringatan semua menjadi media simbolik untuk mengikat masa lalu ke masa kini. Dengan kata lain, Lubang Buaya bukan hanya sekadar lokasi bekas tragedi: ia menjadi “situs memori” yang menyatu dalam kesadaran kolektif bangsa menjadi saksi bisu yang mengingatkan bahwa pengkhianatan pernah mengoyak tubuh negara.

(b) Politik Memori (Memory Politics). Siapa yang punya kuasa mendefinisikan sejarah, siapa yang menjadi korban “resmi”, siapa yang diabaikan inilah kontestasi politik memori. Di Indonesia, narasi resmi Orde Baru menjadikan PKI sebagai biang keladinya, meniadakan keraguan atau revisi dalam wacana massal. Akan tetapi, sejak era Reformasi, diskusi lebih terbuka muncul tentang kompleksitas peristiwa 1965 termasuk pertanyaan tentang peran militer, milisi lokal, dan konteks internasional (Perang Dingin).

Dalam wacana ini, generasi muda menjadi penjaga kritik terhadap “narasi tunggal” agar tidak justru memperpanjang kebisuan yang menihilkan korban.

(c) Identitas Sosial dan Agen Pemaknaan, berdasarkan teori identitas sosial (social identity theory) dan teori agen, individu terutama pemuda bekerja dalam ruang sosial: keluarga, sekolah, media, lingkungan komunitas. Nilai-nilai yang ditanam apakah toleransi, rasa kebangsaan, atau ideologi sempit akan membentuk kerangka berpikir mereka. Jika generasi muda tumbuh di lingkungan yang tidak mengajarkan sejarah secara jujur, atau memuliakan kekerasan sebagai “legitimasi pertahanan ideologi,” maka “mental pengkhianat” bisa tertanam sebagai ideologi bawah sadar.

Baca Juga :  Dipandang Perlu Pemerintah dan DPR Dapat Mencari Solusi Lain untuk Meningkatkan Efektivitas Perampasan Aset Terpidana Korupsi

Sebaliknya, bila mereka disuburkan dalam dialog kritis, sejarah otentik, dan penghormatan kepada korban, semangat antisipatif terhadap ideologi destruktif akan tumbuh kuat.
Integrasi Fakta dan Pesan Moral dalam Narasi
Dengan fakta sejarah (saksi mata dan statistik) serta teori ingatan dan politik memori, narasi kekejaman G30S/PKI menjadi lebih hidup dan tak bisa direduksi sebagai “cerita lama yang boleh dilupakan.” Artikel ini hendak mengetuk hati generasi muda:

(a) Bahwa pengkhianatan itu nyata, berdarah, dan memiliki saksi hidup,

(b) Bahwa korban jiwa sangat banyak—bukan sekadar angka abstrak,

(c) Bahwa kisah ini bukan milik satu generasi saja, melainkan warisan moral bagi anak bangsa,

(d) Bahwa generasi muda memiliki posisi strategis: sebagai penjaga narasi dan penolak mental pengkhianat.
Revisi Artikel Terakhir (Penutup Diperkuat)
Maka, generasi muda kamu yang sehari-hari menatap layar, menyimak berita, berdiskusi di kampus, sekolah, jejaring media sosial jangan biarkan pikiranmu disapa ideologi pengkhianat.
Hapus narasi semu yang membenarkan kekerasan atas nama ideologi.

“Bentengi dirimu dengan pemahaman sejarah jujur, kemampuan berpikir kritis, dan kesetiaan pada konsensus dasar bangsa: Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI.

Kita tidak boleh wariskan darah pengkhianat pada generasi berikutnya. Tak perlu menunggu pengorbanan baru; doa dan cita hanya akan kuat bila disertai kesadaran.

Jadilah generasi penerus yang teguh menjaga merah-putih, menjunjung keadilan, menghargai korban, dan menolak segala bentuk penghianatan terhadap bangsa.(ranu)

Oleh DR. Anak Agung Putu Sugiantiningsih S.IP.,M.AP

Berita Terkait

Dituduh Curi Dokumen di Hotel Miliknya, Pasutri Pemilik Hotel Menjerit Cari Keadilan
Kapolres Badung Ajak Lapisan Masyarakat Manfaatkan Layanan SIM di Satpas Badung
Pengabdian dan Prestasi, Dandim 1607/Sumbawa Pimpin Upacara Kenaikan Pangkat dan Purna Tugas
Selamat Menempuh Hidup Baru, Do,a Terbaik Untuk Kedua Mempelai Semoga Terpilih Menjadi Pasangan yang Bahagia
FISIP Unwar Gelar Pengabdian Masyarakat di Desa Lebih: Aksi Bersih Pantai hingga Edukasi Lingkungan
Dipandang Perlu Pemerintah dan DPR Dapat Mencari Solusi Lain untuk Meningkatkan Efektivitas Perampasan Aset Terpidana Korupsi
Geram “Anak Timur ” Kerap Jadi Sasaran, Pembina Flobamora Bali Minta APH Tangkap dan Proses Hukum Pelaku Onar
Disupport Wayan Suyasa Rapat DPW FBN RI Bali, Sepakati Pelantikan Berlangsung Dibulan Oktober

Berita Terkait

Rabu, 1 Oktober 2025 - 19:19 WIB

Dituduh Curi Dokumen di Hotel Miliknya, Pasutri Pemilik Hotel Menjerit Cari Keadilan

Rabu, 1 Oktober 2025 - 16:16 WIB

Pengabdian dan Prestasi, Dandim 1607/Sumbawa Pimpin Upacara Kenaikan Pangkat dan Purna Tugas

Rabu, 1 Oktober 2025 - 00:41 WIB

DARAH PENGKHIANAT G30S/PKI, DALAM LUKA KOLEKTIF DAN TANTANGAN GENERASI MUDA

Selasa, 30 September 2025 - 17:47 WIB

Selamat Menempuh Hidup Baru, Do,a Terbaik Untuk Kedua Mempelai Semoga Terpilih Menjadi Pasangan yang Bahagia

Sabtu, 27 September 2025 - 12:05 WIB

FISIP Unwar Gelar Pengabdian Masyarakat di Desa Lebih: Aksi Bersih Pantai hingga Edukasi Lingkungan

Selasa, 23 September 2025 - 09:23 WIB

Dipandang Perlu Pemerintah dan DPR Dapat Mencari Solusi Lain untuk Meningkatkan Efektivitas Perampasan Aset Terpidana Korupsi

Selasa, 23 September 2025 - 04:38 WIB

Geram “Anak Timur ” Kerap Jadi Sasaran, Pembina Flobamora Bali Minta APH Tangkap dan Proses Hukum Pelaku Onar

Senin, 22 September 2025 - 07:51 WIB

Disupport Wayan Suyasa Rapat DPW FBN RI Bali, Sepakati Pelantikan Berlangsung Dibulan Oktober

Berita Terbaru