Sumbawa Besar|NTB,– Polemik penetapan status tersangka terhadap jurnalis sekaligus pegiat sosial di Kabupaten Sumbawa berinisial A terus menuai gelombang protes. Kasus yang bermula dari unggahan di media sosial Facebook terkait dugaan penggunaan material ilegal dalam proyek jalan dan jembatan kawasan strategis SAMOTA senilai Rp131,9 miliar, kini menjadi isu besar yang menyoroti integritas penegakan hukum di daerah ini.
Ketua Presidium LSM GARDA, Bung Victor, secara tegas mempertanyakan proses hukum yang berjalan. Menurutnya, sejak awal laporan pencemaran nama baik yang dilayangkan pemilik tambang galian C di Dusun Batu Gong sudah pernah ditolak oleh Satreskrim (Tipiter) Polres Sumbawa karena tidak memenuhi unsur pidana. Namun, laporan tersebut kemudian diajukan kembali melalui Polsek Labuhan Badas dan akhirnya dilimpahkan ke Polres Sumbawa hingga berujung pada penetapan tersangka terhadap A pada 19 Juli 2025.
“Bagaimana mungkin laporan yang sebelumnya dianggap tidak memenuhi unsur tiba-tiba bisa diproses hingga penetapan tersangka? Ini patut dipertanyakan. Jika sejak awal memenuhi unsur perbuatan melawan hukum, seharusnya Tipiter langsung memprosesnya. Kami curiga ada kepentingan tertentu yang menunggangi kasus ini,” tegas Bung Victor, Senin (25/8/2025).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Meski demikian, Bung Victor menegaskan bahwa pihaknya tetap mendukung Polres Sumbawa dalam menegakkan hukum yang berkeadilan, asalkan dilakukan dengan kredibilitas dan integritas yang tinggi.
“Ini bukan bentuk intervensi. Kami hanya ingin memastikan penegakan hukum berjalan objektif. Polisi adalah pengayom dan pelindung masyarakat. Jangan sampai hukum dijadikan alat kriminalisasi,” tambahnya.
Sorotan serupa datang dari Presidium Aliansi LSM Menggugat yang telah melayangkan somasi resmi kepada Kapolres Sumbawa.
Somasi tersebut memuat dasar hukum kuat, mulai dari KUHAP, UU Kepolisian, UU Keterbukaan Informasi Publik, hingga peraturan terkait pengelolaan sumber daya alam.
“Kami melihat penetapan A sebagai tersangka sarat kejanggalan dan indikasi pemaksaan. Saudara A memberitakan dugaan penggunaan material ilegal dan pelanggaran izin tambang, justru dia yang dikriminalisasi. Ini bentuk pembungkaman terhadap kebebasan pers dan kritik publik,” ujar perwakilan Aliansi.
Aliansi juga mendesak aparat penegak hukum untuk menyelidiki legalitas tambang yang dipersoalkan, termasuk dokumen lingkungan (UKL/UPL, AMDAL), penunjukan kepala teknis tambang, hingga indikasi penggunaan BBM bersubsidi untuk kepentingan tambang.
“Kami menemukan indikasi kuat solar bersubsidi dipakai untuk alat berat dan dump truck di tambang tersebut. Ini jelas merugikan negara dan PAD Kabupaten Sumbawa. Mengapa aparat diam?” ujarnya lantang.
Dalam somasinya, Aliansi LSM Menggugat menyampaikan empat tuntutan utama:
• Kapolres Sumbawa diminta menyelidiki ulang dugaan praktik BBM ilegal dan pelanggaran tambang.
• Menghentikan sementara seluruh aktivitas tambang galian C yang melanggar aturan.
• Meminta CV Central Lestari menghentikan kegiatan hingga legalitasnya jelas.
• Mengancam aksi demonstrasi besar jika tuntutan diabaikan.
“Jika Kapolres tidak menindaklanjuti, kami siap turun ke jalan. Ini bukan hanya soal satu orang, tapi soal penegakan hukum dan penyelamatan potensi daerah dari mafia tambang dan BBM bersubsidi,” tegasnya.
Kasus ini diperkirakan akan menarik perhatian publik nasional karena menyangkut isu kriminalisasi jurnalis, tata kelola pertambangan, dan dugaan mafia BBM bersubsidi. Banyak pihak menilai, bagaimana Polres Sumbawa menangani kasus ini akan menjadi ujian besar terhadap kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum di Indonesia. (Fa)




































