Batam— Jaringan mafia tambang Bauksit ilegal di kawasan Kabil, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, disinyalir beroperasi di bawah payung “impunitas” hukum yang mencengangkan.

Selama kurang lebih dua bulan, aktivitas pengerukan tanah Bauksit terus berlangsung tanpa hambatan, seolah mendapat lampu hijau dari aparat penegak hukum setempat. Fenomena pembiaran ini tidak hanya merusak lingkungan secara masif, tetapi juga menohok supremasi hukum dan menimbulkan pertanyaan besar tentang integritas institusi di Batam.
LOKUS PELANGGARAN: DI BAWAH HIDUNG APARAT
Aktivitas ilegal ini terekam jelas di Pinggir Jalan Hang Tuah Kabil. Di lokasi, suara bising excavator breaker yang mengeruk tanah Bauksit menjadi pemandangan dan polusi suara harian. Truk-truk pengangkut batu tampak lalu-lalang tanpa rasa khawatir, memuntahkan debu tebal yang menyelimuti lingkungan sekitar.
– Waktu Kejadian: Rabu, (26/10) tercatat sebagai hari beroperasinya tambang, namun aktivitas ini telah berlangsung minimal dua bulan.
– Indikasi Ilegalitas: Tidak terlihatnya papan izin tambang atau tanda legalitas lain. Ini jelas melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang mewajibkan setiap kegiatan penambangan memiliki izin resmi.
SAKSI MATA DAN DUGAN BEKING KUAT
Pengakuan warga sekitar menjadi indikasi paling gamblang adanya dugaan pembiaran oleh otoritas. Sejumlah penduduk lokal menyatakan telah berulang kali melihat kegiatan ini, namun tak pernah ada tindakan penghentian.
“Kadang polisi lewat, tapi tidak berhenti. Kami jadi bertanya-tanya, apakah mereka tidak tahu ini ilegal, atau pura-pura tidak tahu?” ujar seorang warga yang memilih anonim demi keamanan.
Dugaan semakin menguat ke arah keterlibatan jaringan terstruktur. Sumber-sumber di lapangan menyebutkan bahwa di balik tambang ini ada jaringan pemodal kuat yang diduga memiliki ‘beking’ aparat penegak hukum (APH). Proteksi inilah yang ditengarai menjadi tembok tebal yang membuat kepolisian dan instansi terkait “enggan bertindak”.
POTENSI KEUNTUNGAN DAN BENCANA EKOLOGI
Di tengah bobroknya pengawasan hukum, para pelaku ilegal meraup untung besar. Bebatuan hasil pengerukan dikabarkan dijual dengan harga menggiurkan: Rp800.000 hingga Rp1.000.000 per unit/tonase (harga bervariasi).
Namun, keuntungan materi ini harus dibayar mahal oleh ancaman bencana ekologi dan kesehatan masyarakat:
– Kerusakan Lingkungan: Ancaman tanah longsor dan gangguan aliran air.
– Ancaman Kesehatan: Debu tebal yang beterbangan mengancam kesehatan pernapasan warga sekitar.
PERTANYAAN PUBLIK YANG MENGGANTUNG
Hingga berita ini diturunkan, keheningan dari instansi berwenang semakin menguatkan sinyal adanya permainan di balik layar. Pihak kepolisian dan instansi terkait lainnya (misalnya Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral atau Satpol PP) belum memberikan keterangan resmi mengenai praktik ilegal ini.
Pembiaran ini menimbulkan pertanyaan krusial yang harus dijawab tuntas oleh negara:
– Siapa Inisial DN( USG ) yang disebut-sebut ‘Tak Tersentuh Hukum’ ini? Siapa pemodal sesungguhnya yang mampu membuat hukum Batam tumpul?
– Mengapa aparat membiarkan pelanggaran UU Minerba yang nyata di depan mata? Apakah ada oknum APH yang terlibat dalam jaringan ‘beking’ tersebut?
– Siapa yang sebenarnya diuntungkan dari aktivitas ilegal yang merusak lingkungan ini?
Tanpa tindakan segera, Batam terancam menjadi potret gagalnya penegakan hukum, di mana kepentingan segelintir mafia tambang ditempatkan di atas kepentingan publik dan kelestarian lingkungan. Negara harus segera menghentikan operasi ini dan menyeret semua pihak yang terlibat, dari operator lapangan hingga beking yang berada di balik meja.
[Albab, Kabiro Oposisi News86. com Batam]



































