Oleh: Kabiro Oposisi News86.com Batam [ALBAB].
Bengkong Batam – Di balik hiruk pikuk Kota Batam, tersimpan sebuah kisah kelam yang kembali menguji nurani kolektif kita.
Kasus pencabulan terhadap seorang bocah perempuan berusia 4 tahun oleh tetangganya sendiri, seorang pria senja berinisial MHR di Bengkong, bukan hanya sekadar berita kriminal biasa, melainkan cerminan suram akan rapuhnya perlindungan anak di tengah masyarakat.
Ironi utama dalam kasus ini terletak pada modus operandi yang begitu sederhana, namun dampaknya menghancurkan. Uang tunai sebesar Rp3 ribu—nilai yang tak seberapa di zaman modern—menjadi alat rayuan bagi sang kakek berusia 60 tahun untuk menarik korban mungil itu ke dalam rumahnya dan melancarkan aksi bejatnya.
Rp3 ribu, sebuah harga yang teramat murah untuk menukar masa depan dan trauma psikologis seumur hidup yang kini harus ditanggung oleh bocah malang tersebut.
Peristiwa ini, yang diduga telah terjadi sejak Agustus 2025 dan terulang pada pertengahan Oktober, menimbulkan pertanyaan mendasar:
Di mana peran pengawasan sosial dalam lingkungan bertetangga? Bagaimana mungkin seorang kakek dapat berulang kali memanfaatkan kepolosan seorang anak tanpa terdeteksi? Ini bukan hanya kegagalan personal sang pelaku, tetapi juga alarm bagi kita semua tentang pentingnya kepekaan dan keberanian untuk saling menjaga di ruang-ruang privat yang sering luput dari pandangan publik.
Keberanian korban, meskipun baru berusia 4 tahun, untuk menceritakan apa yang dialaminya kepada orang tua menjadi kunci terungkapnya kasus ini. Hal ini menegaskan kembali betapa vitalnya komunikasi terbuka antara anak dan orang tua, serta pentingnya mendidik anak tentang batasan tubuh mereka, sesulit apapun itu.
Apresiasi patut diberikan kepada Polsek Bengkong yang bertindak cepat setelah laporan keluarga, mengamankan pelaku MHR untuk pemeriksaan lebih lanjut. Penahanan ini mengirimkan pesan tegas bahwa kejahatan terhadap anak adalah pelanggaran serius yang akan ditindak tanpa kompromi.
Dengan dijeratnya pelaku menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak dengan ancaman pidana minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun, negara menunjukkan keseriusannya.
Namun, hukuman penjara, seberat apapun, tidak akan mampu menghapus trauma yang melekat. Fokus kita seharusnya tidak hanya berhenti pada penegakan hukum, melainkan juga pada rehabilitasi korban dan pencegahan.
Kasus Bengkong ini adalah pengingat pahit bahwa predator bisa bersembunyi di mana saja, bahkan di balik sosok tetangga yang akrab atau usia senja yang dihormati.
Ini adalah tanggung jawab kita bersama, sebagai masyarakat, untuk memastikan bahwa Rp3 ribu atau iming-iming apapun tidak akan pernah bisa membeli harga diri dan keamanan anak-anak kita. Kita harus membangun lingkungan yang tidak hanya peduli tetapi juga berani bertindak untuk melindungi masa depan generasi penerus.