Oleh: [ER.K]
Subulussalam, Aceh – Insiden pelemparan batu ke mobil seorang jurnalis di Kota Subulussalam, Aceh, pada Jumat, 17 Oktober 2025, bukan sekadar kasus vandalisme biasa. Tindakan yang diduga dilakukan oleh orang tak dikenal (OTK) ini merupakan alarm keras yang berdering di tengah upaya menjaga kebebasan pers dan iklim demokrasi di daerah tersebut.
Fakta yang Menjadi Sorotan:
Peristiwa ini menimpa mobil milik Syahbudin Padang, seorang wartawan, yang terparkir di depan rumahnya di Desa Sikalondang. Kaca belakang mobilnya ditemukan pecah, dan dugaan kuat mengarah pada aksi pelemparan yang disengaja.
Analisis dan Opini:
Indikasi Intimidasi Terhadap Pers:
Meskipun motif pelemparan ini masih dalam penyelidikan, sangat sulit untuk mengabaikan kemungkinan bahwa aksi ini berkaitan erat dengan profesi korban.
Wartawan adalah pilar keempat demokrasi, dan kerja mereka—meliputi berita yang terkadang sensitif atau mengkritik—sering kali menempatkan mereka dalam risiko. Pelemparan terhadap properti wartawan, apalagi di kediamannya, adalah bentuk intimidasi paling purba dan paling keji.
Ini adalah serangan bukan hanya terhadap individu, tetapi terhadap hak publik untuk mendapatkan informasi yang jujur dan seimbang. Kita harus menolak narasi bahwa ini hanyalah kenakalan remaja; jika itu terbukti terkait dengan pemberitaan, maka ini adalah aksi barbar yang mengancam kebebasan pers.
Tuntutan Profesionalisme Kepolisian:
Langkah cepat yang diambil oleh Polres Subulussalam, yang diwakili oleh Kasat Reskrim IPTU Abdul Mufakhir, untuk menerima dan menindaklanjuti laporan patut diapresiasi.
Penegasan bahwa kasus ini akan ditangani secara “profesional dan transparan” adalah janji yang harus ditepati. Dalam kasus yang melibatkan profesi wartawan, kecepatan dan ketuntasan penyelidikan sangat krusial.
Kegagalan mengungkap pelaku akan menciptakan preseden buruk: bahwa profesi jurnalis di Subulussalam rentan dan serangan terhadapnya dapat terjadi tanpa konsekuensi. Kepolisian dituntut untuk tidak hanya menangkap pelaku, tetapi juga mengungkap tuntas motif di baliknya.
Koordinasi dengan warga sekitar, sebagaimana disebutkan, adalah langkah tepat dalam mengumpulkan kepingan teka-teki ini.
Refleksi Keamanan Bagi Jurnalis:
Kasus Syahbudin Padang harus menjadi momen refleksi bagi komunitas jurnalis dan aparat keamanan.
Apakah lingkungan kerja jurnalis di Aceh, khususnya Subulussalam, cukup aman? Insiden ini menunjukkan bahwa ancaman bisa datang kapan saja dan di mana saja. Seluruh elemen masyarakat, termasuk organisasi pers, harus bersatu padu mendesak kepolisian untuk bekerja keras dan memastikan perlindungan terhadap jurnalis dijamin oleh negara.
Penutup:
Kebebasan pers bukanlah hadiah, melainkan hak yang diperjuangkan. Siapa pun pelaku di balik insiden pelemparan ini—dan apa pun motifnya—mereka telah melukai demokrasi.
Kita harus memastikan bahwa aksi biadab yang merusak properti jurnalis di Desa Sikalondang ini tidak akan menjadi babak baru dalam sejarah intimidasi terhadap pers di Aceh.
Warga Subulussalam dan publik di seluruh Indonesia kini menanti hasil penyelidikan: keadilan harus ditegakkan, dan pesan bahwa pers tidak boleh diintimidasi harus disampaikan dengan lantang.