Karimun/Kepri – Di balik riuh rendahnya aktivitas pelabuhan di Kabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan Riau, tersembunyi sebuah praktik yang diduga merugikan para calon pekerja migran. Istilah “uang gerenti”, yang tidak memiliki dasar hukum jelas, menjadi perbincangan hangat di kalangan penumpang yang hendak menyeberang ke Malaysia.
Penelusuran kami mengindikasikan bahwa uang ini, yang jumlahnya mencapai jutaan rupiah, menjadi “biaya siluman” yang diduga dinikmati oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab.
Berdasarkan investigasi di lapangan, “uang gerenti” ini dikenakan kepada calon pekerja migran yang menggunakan paspor pelancong untuk bekerja di Malaysia.
Padahal, sesuai dengan aturan keimigrasian, paspor jenis ini tidak diperuntukkan untuk bekerja. Istilah “gerenti” sendiri, yang lazimnya merujuk pada jaminan sah terkait biaya hidup atau tempat tinggal, kini disalahgunakan sebagai dalih untuk meminta uang.
Seorang calon pekerja yang kami temui di Pelabuhan Internasional Karimun, yang enggan disebutkan namanya, mengaku telah membayar uang gerenti sebesar Rp 1.200.000. Besaran pungutan ini, menurutnya, tidak seragam dan bervariasi antara Rp 1.050.000 hingga Rp 1.200.000. Uang ini, diduga kuat sebagai pungutan liar atau pungli, yang memanfaatkan celah aturan dan desakan ekonomi para pencari kerja.
Saat dikonfirmasi, seorang agen yang dihubungi oleh tim kami, yang hanya bersedia dipanggil “Pak De”, menampik tuduhan tersebut. Ia berdalih bahwa pihaknya tidak memungut uang gerenti dan hanya memberangkatkan calon penumpang dengan paspor yang berasal dari Karimun dan Selat Panjang. Pernyataan ini kontras dengan pengakuan para calon pekerja yang kami wawancarai.
Yang lebih mengejutkan adalah respons dari pihak imigrasi. Jamal, salah satu petugas Imigrasi Karimun di pelabuhan, dengan tegas membantah adanya praktik uang gerenti. Namun, ketika ditanya mengenai pengawasan terhadap para agen yang beroperasi di pelabuhan, Jamal justru menyatakan, “tidak ada pengawasan dari imigrasi.” Pernyataan ini menimbulkan tanda tanya besar.
Sikap acuh tak acuh dari petugas imigrasi ini seolah membuka pintu lebar bagi para agen untuk beraksi tanpa khawatir.
Penelusuran kami mengarah pada dugaan adanya kerja sama antara para agen dan oknum petugas imigrasi. Istilah “uang gerenti” bukanlah rahasia umum di kalangan pelaku di pelabuhan.
Banyak pihak yang mengetahui adanya praktik ini, namun seolah tak ada yang berani bertindak. Sikap pasif dari pihak berwenang, terutama Imigrasi, memperkuat dugaan bahwa praktik ini telah lama terjadi dan melibatkan banyak pihak.
Kami mencoba meminta konfirmasi dari Dwi Avandho Farid, Kepala Kantor Imigrasi Kelas II Tanjung Balai Karimun, namun upaya kami belum berhasil. Ketiadaan sikap tegas dari pimpinan instansi ini semakin menguatkan kekhawatiran akan adanya pembiaran praktik pungli yang merugikan masyarakat kecil.
Praktik uang gerenti ini, pada dasarnya, adalah bentuk eksploitasi terhadap para pekerja migran yang rentan dan sedang mencari nafkah di negeri tetangga. Siapa yang menikmati uang haram ini? Pihak berwenang seolah menutup mata, sementara para pekerja terus menjadi korban. [SAJIRUN, S]





































