KARIMUN, KEPRI. Praktik pungutan liar (Pungli) yang terselubung di bawah istilah ‘uang gerenti’ merajalela tanpa hambatan di Pelabuhan Tanjung Balai Karimun.
Aksi pemerasan ini menargetkan calon pekerja migran Indonesia (PMI) yang akan mengadu nasib ke Malaysia, menciptakan kerugian finansial yang signifikan, dan secara terang-terangan melanggar Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pada Selasa, 3 November 2025, salah seorang calon pekerja migran, Karim (bukan nama sebenarnya), asal Tanjung Batu, terpaksa merogoh kocek dalam-dalam. Untuk ongkos penyeberangan yang seharusnya hanya Rp 460.000, Karim dipaksa membayar total Rp 1.100.000. Selisih Rp 640.000 inilah yang disinyalir sebagai ‘uang gerenti’ atau pungutan gelap.
“Saya bolak-balik kerja ke Malaysia, di kebun sawit 26 hari. Tadi saya bayar ongkos dan gerenti sebesar Rp 1.100.000 sama Pak De,” ungkap Karim, menyebut seorang agen yang bertugas di lapangan.
Menurut informasi terpercaya, ‘Pak De’ merupakan operator lapangan yang bernaung di bawah ‘Big Boss’ agen gerenti berinisial H. Struktur ini mengindikasikan adanya jaringan terorganisasi yang menjalankan praktik ilegal ini, bukan sekadar aksi perorangan.
Saat dikonfirmasi, Pak De justru memberikan pengakuan yang blak-blakan dan tanpa penyesalan, memperkuat dugaan bahwa praktik ini sudah menjadi norma gelap di pelabuhan tersebut. “Sama, Pak, semua uang gerenti di pelabuhan ini Rp 1.150.000,” jawab Pak De, mengindikasikan penetapan tarif baku yang dilakukan secara kolektif oleh para ‘agen gerenti’.
Pengakuan ini menjadi bukti kuat bahwa pungutan tersebut tidak memiliki dasar hukum yang sah, melainkan murni pungli yang memanfaatkan posisi rentan para calon pekerja. Upaya konfirmasi kepada pihak berwenang, dalam hal ini Humas Imigrasi Karimun, Edy Herianto, tidak membuahkan hasil, menambah keraguan publik atas pengawasan dan penindakan di wilayah pelabuhan.
Dampak dari praktik ‘uang gerenti’ ini berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi yang masif. Seorang warga Karimun berinisial H mendesak aparat penegak hukum untuk segera bertindak. “Dari pengakuan Pak De ini sangat jelas bahwa uang gerenti ada diambil untuk calon pekerja ke Malaysia.
Ini merupakan pungutan tidak ada dasar hukum (pungli), dan kita minta aparat penegak hukum segera memeriksa dan memproses agen-agen pengambilan uang gerenti ini,” tegasnya. Analisis Kerugian Finansial Harian (Estimasi):
Dengan selisih biaya pungli Rp 640.000 per pekerja, dan asumsi 200 calon pekerja per hari, Total Pungli Harian mencapai Rp 128.000.000. Perputaran uang gelap mencapai ratusan juta rupiah per hari menunjukkan skala operasi yang mengkhawatirkan, yang berpotensi dinikmati oleh segelintir oknum yang berlindung di balik struktur ‘agen’ dan ‘big boss’, alih-alih masuk ke kas negara.
Publik dan calon pekerja migran menuntut agar aparat penegak hukum, termasuk Kepolisian dan Kejaksaan, segera turun tangan. Kasus ini harus diusut tuntas, mulai dari operator lapangan seperti Pak De hingga ‘Big Boss’ berinisial H, serta menelusuri potensi keterlibatan oknum-oknum berwenang yang mungkin memberikan pembiaran atau bahkan perlindungan terhadap praktik ilegal ini.
Pungli adalah kanker korupsi di tingkat akar rumput yang mencekik rakyat kecil. Jika praktik ini dibiarkan berjalan mulus, mimpi para Pahlawan Devisa untuk mencari nafkah akan terus dijajah di pelabuhan keberangkatan mereka sendiri.
Berdasarkan pencarian, kasus pungli, termasuk yang berkedok ‘uang gerenti’ atau ‘green tea’, di Pelabuhan Tanjung Balai Karimun merupakan isu yang berulang dan sudah menjadi perhatian publik serta beberapa media lokal, dengan laporan yang muncul hingga tahun 2025. [Sajirun, S]





































