Oleh: [SAJIRUN, S. Kaperwil Oposisi News 86.com, Provinsi Kepri]
Karimun, Kepulauan Riau—Di tengah desakan negara untuk menggenjot penerimaan pajak dan cukai, pemandangan ironis sekaligus memuakkan tersaji di jantung Kabupaten Karimun.
Hanya sepelemparan batu dari Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Khusus Kepulauan Riau—institusi yang seharusnya menjadi pagar terdepan—penjualan rokok ilegal berlangsung dengan santai dan terbuka.
Ini bukan lagi sekadar pelanggaran minor, ini adalah cerminan kegagalan sistematis yang menodai wibawa negara.
Di Mana Kewibawaan Bea Cukai?
Pada Jumat (17/10/2025), sebuah warung di samping Gang Awang Nur, Kecamatan Meral, Kabupaten Karimun, terekam dengan jelas menjajakan rokok tanpa pita cukai yang sah. Lokasinya? Begitu dekat dengan markas DJBC Khusus Kepri, seolah menantang otoritas secara langsung.
Keterangan dari penjual warung, Kevin, sungguh mencengangkan: ia mengaku mendapatkan pasokan barang haram tersebut dari seorang mantan pegawai Bea Cukai berinisial T, dan praktik ini sudah berjalan “sudah lama, Bang.”
Pernyataan ini bukan hanya sekadar pengakuan, melainkan sebuah bom waktu yang meledak di tengah integritas penegak hukum.
Jika benar mantan pegawai Bea Cukai menjadi pemain kunci dalam rantai pasok rokok ilegal—bisnis yang jelas-jelas merugikan pendapatan negara triliunan rupiah—maka kita tidak sedang bicara tentang penyelundupan kecil, melainkan mafia terorganisir yang berlindung di balik seragam atau relasi lama.
Lantas, apa gunanya Pasal 54 dan Pasal 56 UU Cukai yang mengancam penjara 1 hingga 5 tahun dan denda 2 sampai 10 kali nilai cukai? Hukum tampak ompong ketika pelakunya berjualan bebas tanpa rasa takut, seolah ada “lampu hijau” atau “jaminan aman” dari pihak tertentu.
Ultimum Remedium yang Mengkhianati Keadilan
Penerapan sanksi pengganti berupa denda yang menghentikan penyidikan (ultimum remedium) seringkali dijadikan solusi “cepat” untuk pelanggaran skala kecil.
Namun, dalam konteks Karimun yang marak dan terkesan terstruktur ini, solusi tersebut berpotensi menjadi bumerang.
Kebijakan ini, yang seharusnya menjadi pilihan terakhir, justru bisa ditafsirkan sebagai izin untuk berbisnis ilegal dengan membayar “uang damai” kepada negara.
Alih-alih menimbulkan efek jera, hal ini justru memfasilitasi perputaran bisnis gelap.
Masyarakat Karimun, seperti yang diwakili oleh warga berinisial H, menuntut ketegasan, bukan kompromi.
“Bea Cukai diminta tegas, menindak penjual rokok ilegal ini dan diproses secara hukum, sehingga menimbulkan efek jera,” tegasnya.
Tuntutan ini adalah suara nurani publik yang merasa pendapatan negara sedang dijarah di depan mata mereka.
Tembus Rantai Mafia, Tangkap Aktor Intelektualnya
Aparat Penegak Hukum (APH)—terutama Kepolisian, Kejaksaan, dan tentu saja Bea Cukai—tidak bisa lagi hanya menyita barang bukti eceran.
Kasus Karimun ini adalah pintu masuk untuk membongkar jaringan yang lebih besar.
Usut tuntas penjualan rokok ilegal ini bukan hanya berarti menangkap Kevin si penjual warung. Jejak pasokan harus ditembus.
APH wajib mengusut tuntas siapa inisial T, mantan pegawai Bea Cukai yang dituding menjadi penyalur, dan siapa saja di balik layar yang membiarkan atau bahkan melindungi praktik ini.
Kegagalan untuk menindak tegas dan membongkar hulu ke hilir penjualan rokok ilegal di Karimun adalah pengkhianatan terhadap:
– Pendapatan Negara: Kerugian cukai dan pajak yang tidak terbayar.
– Kepastian Hukum: Menciptakan kesan bahwa penegakan hukum tumpul ke atas tetapi tajam ke bawah.
– Wibawa Institusi: Melecehkan peran Bea Cukai dan APH lainnya.
Karimun bukan hanya darurat rokok ilegal, tetapi darurat ketegasan. Aparat Penegak Hukum harus segera bergerak, membuktikan bahwa hukum masih lebih kuat dari jaringan bisnis gelap yang berani beroperasi tepat di bawah hidung mereka.
Tangkap penjual dan penyalurnya.
Bongkar mafianya. Jangan biarkan kedaulatan ekonomi negara runtuh hanya karena ketidaktegasan menindak sebatang rokok ilegal.