Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau—Di tengah hiruk pikuk pelabuhan Tanjung Balai Karimun, sebuah ironi menganga lebar.
Arus masuk barang, baik dari luar negeri maupun dari Batam—zona perdagangan bebas yang bertetangga—nampak lancar, bahkan terkesan tanpa kendali, bertolak belakang dengan gemuruh komitmen penegakan aturan yang baru saja disuarakan pucuk pimpinan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC).
Kontras yang tajam ini memunculkan pertanyaan kritis: Apakah Batam-Karimun kini telah berganti sinyal dari “lampu merah” menjadi “lampu hijau” bagi lalu lintas komoditas, ataukah pengawasan yang longgar ini hanya merupakan skema yang ‘terstruktur’ untuk tujuan lain?.
Ketika Tugas Negara Diabaikan di Dermaga
Sesuai mandatnya, Bea Cukai di Karimun memiliki peran krusial: mengawal kepatuhan aturan kepabeanan, mencegah penyelundupan, dan secara spesifik di Kepri, memastikan distribusi kebutuhan pokok untuk ketahanan pangan berjalan tertib.
Namun, realitas di lapangan jauh dari kata tertib. Informasi yang dihimpun menyebutkan barang-barang dari Batam—termasuk yang disinyalir berasal dari luar negeri—mengalir deras ke Karimun melalui kapal dan angkutan ekspedisi besar, salah satunya milik inisial IC. Mirisnya, proses pembongkaran barang tersebut dikabarkan tidak tersentuh pemeriksaan Bea Cukai sama sekali.
Situasi ini secara frontal menabrak pernyataan tegas Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Letjen Djaka Budj Utama, yang diucapkan di Kepulauan Riau hanya beberapa waktu lalu, tepatnya pada Selasa (29/7/2025), seusai jumpa pers Operasi Patroli Laut Terpadu.
“Bea-Cukai hanya menjalankan apa yang menjadi kebijakan pemerintah, ketika pemerintah melarang impor, ya nggak mungkin juga Bea-Cukai meloloskan. Kalau saya meloloskan barang-barang impor (ilegal), berarti saya mengkhianati negara,” tegas Djaka.
Kenyataan yang terlihat di Karimun seolah meremehkan sumpah dan komitmen tersebut. Pengawasan yang ‘absen’ ini menyulut dugaan bahwa arahan dari pusat telah diabaikan di level lokal.
Sorotan Tajam Warga dan Tuntutan Evaluasi
Kelonggaran pengawasan yang mencolok ini tak luput dari sorotan masyarakat Karimun. Seorang warga lokal, yang dijumpai di kawasan Padimas dan enggan disebut namanya (sebut saja H), menyampaikan pandangan yang lugas dan bernada geram.
“Ucapan pimpinan itu bagusnya harus dijalankan.
Bila tidak mau menjalankan, berarti mereka tidak menjalankan arahan Dirjen Bea dan Cukai,” ujar H.
Ia secara terbuka meminta Dirjen Bea Cukai untuk mengambil tindakan tegas. “Sudah selayaknya Dirjen Bea Cukai mengevaluasi kedudukan kedua pejabat Bea Cukai tersebut,” cetusnya, merujuk pada Tri Wahyudi, Kepala KPPBC (Kantor Pelayanan dan Pengawasan Bea dan Cukai) Tanjung Balai Karimun, dan Kepala Kanwil DJBC Khusus Kepri.
Pertanyaan kritis yang dilemparkan oleh H merangkum kecurigaan publik: “Sebelumnya barang dari luar dan Batam tidak masuk ke Karimun karena lampu merah, apakah saat ini sudah lampu hijau? Apakah ‘lampu merah’ itu hanya untuk menambah setoran?”
Pernyataan ini tidak hanya menyoroti dugaan kelalaian tugas, tetapi juga mengindikasikan adanya praktik ‘pengaturan’ yang disinyalir melibatkan kepentingan tersembunyi.
Derasnya arus barang tanpa pengawasan ini berpotensi merugikan negara dari sisi penerimaan pajak dan bea, sekaligus merusak iklim perdagangan yang sehat dengan membanjirnya barang-barang ilegal.
Publik kini menanti respons dan tindakan nyata dari DJBC Pusat. Komitmen memberantas penyelundupan dan mengamankan keuangan negara tak boleh hanya menjadi jargon di atas kertas, apalagi jika ‘pengkhianatan’ terhadap negara justru terjadi di pelabuhan yang seharusnya menjadi gerbang penjagaan terakhir. [SAJIRUN, S]