Gayo Lues — Minggu, 17 Agustus 2025, sebuah fenomena sosial dan kultural yang signifikan terjadi di Lapangan Pancasila, Blangkejeren.
Lebih dari sekadar perayaan rutin, upacara peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Kabupaten Gayo Lues ini menyajikan lapisan makna yang patut diinvestigasi.
lapangan ini menyoroti bagaimana serangkaian ritual kenegaraan, interaksi simbolis, dan manifestasi emosional berkumpul, menciptakan narasi yang lebih dalam tentang identitas kolektif dan harapan masa depan.
Sejak Pukul 08.00 WIB, lapangan mulai dipenuhi oleh berbagai elemen masyarakat yang terorganisir secara hierarkis. Barisan siswa berseragam, yang mewakili generasi penerus, menempati posisi sentral, menyimbolkan kelanjutan estafet perjuangan bangsa. Sebaliknya, para pejabat daerah, tokoh masyarakat, serta anggota TNI-Polri ditempatkan di area khusus, merefleksikan struktur kekuasaan dan penjagaan stabilitas.
Kedatangan Bupati Gayo Lues, Suhaidi SPd, MSI, bersama Wakilnya, H. Maliki, SE, dan Anggota DPR RI H Irmawan, MM yang disambut dengan sorak-sorai, bukan sekadar protokoler, melainkan sebuah ritual penguatan otoritas. Jas putih berhias pin Garuda yang dikenakannya adalah artefak visual yang mempertegas peran kepemimpinan sebagai perwujudan negara.
Pengibaran Bendera
Inti dari upacara ini adalah pengibaran Sang Saka Merah Putih, sebuah prosesi yang berlangsung dengan presisi dan penuh makna.
Pada pukul 09.00 WIB, semua pandangan terfokus pada momen penyerahan bendera dari Bupati kepada Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka).
Gerakan tangan yang “kokoh” Suhaidi saat menyerahkan bendera dan penerimaan yang “khidmat” oleh Paskibraka dapat diinterpretasikan sebagai transfer tanggung jawab dari generasi tua kepada generasi muda.
Langkah tegap Paskibraka, yang merupakan hasil dari seleksi ketat dan latihan intensif, bukan hanya menunjukkan disiplin militer, tetapi juga simbolisasi pergerakan maju bangsa.
Ketika bendera ditarik perlahan, keheningan yang menyelimuti lapangan—diselingi oleh tiupan sangkakala—menciptakan ruang resonansi emosional.
Fenomena ini, di mana ribuan orang menahan napas secara serentak, menunjukkan sebuah kondisi kesadaran kolektif yang mendalam, di mana individu-individu bersatu dalam penghormatan terhadap simbol kedaulatan.
Peran Bahasa dan Ritual Kultural
Pembacaan Teks Proklamasi oleh Ketua DPRK Gayo Lues, H. Ali Husin, SH, dengan suara yang “tegas,” berfungsi sebagai pengingat audial akan momen historis.
Gema dari kata-kata tersebut berusaha untuk menjembatani jurang waktu, membawa ingatan kembali ke 17 Agustus 1945.
Ini adalah sebuah upaya untuk mengintegrasikan masa lalu ke dalam kesadaran masa kini, memastikan bahwa semangat kemerdekaan tetap hidup.
Setelah bagian formal, upacara bertransisi ke dalam ekspresi budaya. Tarian Saman yang dipimpin langsung oleh Bupati dan di ikuti oleh Anggota DPR RI H. Irmawan,Ketua DPRK Gayo Lues,H.Ali Husin,SH, Anggota DPRK H. Ibnu Hasim dan para Anggota DPRK lainya, Para Pejabat seperti Asisten 1, II dan III, Kepala Dinas,PNS serta hiburan dari artis lokal seperti Erfan Ceh Kul dan bukan sekadar hiburan.
Ini menunjukkan bahwa elemen-elemen ini adalah mekanisme pemersatu yang memecah formalitas kenegaraan. Seni dan budaya menjadi jembatan yang menghubungkan ritual formal dengan identitas lokal, memperkuat ikatan emosional antara rakyat dan perayaan.
Lapangan Pancasila sebagai Laboratorium Harapan. Secara keseluruhan, peringatan HUT ke-80 Proklamasi RI di Gayo Lues bukan sekadar rangkaian acara, melainkan sebuah laboratorium sosial di mana nilai-nilai sejarah, otoritas politik, dan identitas budaya di uji cobakan dan diperbarui.
Lapangan Pancasila menjadi saksi bagaimana masyarakat Gayo Lues tidak hanya mengenang masa lalu, tetapi juga memproyeksikan harapan untuk masa depan melalui partisipasi aktif dan ekspresi emosional, mulai dari kebanggaan hingga keharuan.
Perayaan ini menegaskan bahwa kemerdekaan adalah entitas hidup yang terus-menerus dibangun dan dirayakan dalam setiap langkah tegap, setiap kibaran bendera, dan setiap nada tarian. []