Aceh Utara — Di tengah himpitan ekonomi dan minimnya lapangan kerja, tambang rakyat di Geureudong Pase yang selama ini menjadi tumpuan hidup warga akhirnya terpublis di media resmi.
Warga pun hanya bisa menatap pilu dan jeritan kesusahan mulai terdengar.
Padahal, tambang itu bukan sekadar tumpukan batu dan pasir, melainkan simbol perjuangan warga setempat dalam menyambung hidup ditengah himpitan dan kesulitan ekonomi.
“Ini bukan tempat cari kaya, ini tempat kami bertahan hidup,” ujar masyarakat yang kini kehilangan mata pencahariannya, Rabu 9/7/2025.
Mungkin bagi sebagian orang, ini hanyalah tambang ilegal. Tapi bagi kami, ini adalah sumber kehidupan.
“Kami sedih bukan karena tambang ini diberitakan, tapi jika tambang ini ditutup. Hidup kami mau dibawa ke mana, kemana kami haris mencari nafkah ? ”ucap seorang janda ibu rumah tangga yang sehari – hari bekerja sebagai pengumpul batu dengan mata berkaca-kaca.
Masih warga “kami akui galin C kami tidak lagi memiliki izin, tetapi dengan hasil dari tambang ini kami masyarakat bisa menyambung hidup, bukan itu saja dari hasil tambang tersebut kami dapat menghidupkan balai pengajian, meyediakan daging setiap hari megang dan santunan pada seluruh anak yatim-piatu yang ada di kecamatan kami ini, itu semua dari hasil galian C”
Lebih lanjut para warga mempertayakan “selama ini kami dipedalaman tidak ada yang perduli dengan kondisi kami dan para anak yatim-piatu.
Setiap hari megang dari hasil galian C tersebut kami upayakan seluruh anak yatim-piatu yang ada di Kecamatan ini semuanya harus mendapatkan daging dan uang santunan.
Siapa yang pernah membatu dalam hal tersebut ? tidak ada, termasuk media yang telah memberiatakan kegiatan kami, coba tanya sama media tersebut berapa Ribu Rupiah yang pernah dia bantu untuk anak yatim – piyatu kami disini” pungkas warga.
Pemberitaan tambang rakyat itu justru memunculkan tanda tanya besar,
warga pun mencium adanya permainan dari oknum yang tak berpihak kepada masyarakat kecil.
Ironi ini semakin menyakitkan karena banyak warga tak punya pilihan lain. Lahan sempit, dan pekerjaan formal yang langka membuat tambang rakyat menjadi satu-satunya jalan keluar bagi mereka.
Hasil investigasi media ini dilapangan, sektor tambang ini justru menyerap tenaga kerja dan menjadi penopang ekonomi warga.
Represif harus diganti dengan pola pemberdayaan, dan legalitas tambang rakyat harus difasilitasi, bukan dimatikan.
Masyarakat Geureudong Pase kini hanya bisa menunggu, sambil berharap mereka tidak diabaikan oleh telinga kekuasaan yang makin tuli terhadap jeritan rakyat kecil (SR)