Kuala Lumpur/Malaysia — Radio Televisyen Malaysia (RTM), lembaga penyiaran publik negeri jiran, tersandung skandal minor yang memalukan di panggung internasional. Dalam siaran langsung Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-47 ASEAN di Kuala Lumpur, Minggu, 26 Oktober 2025, pengulas siaran mereka secara keliru menyebut nama Presiden Republik Indonesia (RI) sebagai Joko Widodo.

Ironisnya, kesalahan fatal itu terjadi saat momentum sakral berkumpulnya para kepala negara ASEAN di Pusat Konvensyen Kuala Lumpur (KLCC). Jabatan Penyiaran Malaysia, melalui pernyataan resminya, mengakui kekeliruan tersebut, seraya menegaskan bahwa Presiden Indonesia saat ini adalah Prabowo Subianto.
Insiden ini bukan sekadar salah sebut nama. Dalam konteks diplomatik dan profesionalisme media, kesalahan ini dapat dibaca sebagai kecerobohan editorial yang mencoreng kredibilitas RTM, apalagi mengingat KTT ASEAN adalah acara kenegaraan yang sangat sensitif.
Kelalaian di Tengah Sorotan Dunia
Kesalahan ini sontak memantik reaksi keras di media sosial, terutama dari warganet di Indonesia dan Malaysia.
Kritik tajam diarahkan pada standar ketelitian RTM. Bagaimana mungkin lembaga penyiaran nasional sebuah negara tidak mampu memverifikasi fakta paling dasar: siapa pemimpin negara tetangga terdekat, yang juga merupakan salah satu pilar utama ASEAN?
Presiden Joko Widodo telah menyelesaikan masa jabatannya pada tahun 2024, digantikan oleh Prabowo Subianto. Mengulang nama pendahulu di forum sepenting KTT ke-47 ASEAN, yang notabene menjadi panggung bagi Presiden baru Indonesia, menimbulkan pertanyaan serius mengenai sistem pengawasan dan pemeriksaan fakta di tubuh RTM.
“Ini bukan salah lidah, ini salah data. Bagaimana editorial mereka bekerja?” ujar seorang pengamat media yang enggan disebut namanya, menekankan betapa pentingnya akurasi dalam laporan jurnalistik.
Merespons tekanan publik, RTM bergerak cepat. Mereka mengeluarkan permohonan maaf resmi dan berjanji akan “meningkatkan kawalan editorial dan semakan fakta” secara radikal.
Sebuah janji yang mau tidak mau harus dibuktikan, sebab kegagalan sekecil ini dapat dianggap cermin lemahnya pemahaman geopolitik regional di tingkat teknis penyiaran.
KTT ASEAN ke-47 seharusnya menjadi momen diplomasi yang mulus, namun ‘hantu’ nama Presiden RI sebelumnya yang muncul di layar RTM justru meninggalkan catatan minor tentang profesionalisme media publik.
Insiden ini menjadi pengingat pedih: di era informasi cepat, kelalaian tunggal—sekecil apa pun—mampu merusak reputasi dan memicu krisis kepercayaan publik, apalagi di forum tingkat tinggi yang melibatkan martabat negara. []



































