Subulussalam – Peta tanah di Kota Subulussalam, Aceh, tiba-tiba menjadi “panas.” Ribuan meter persegi lahan eks Hak Guna Usaha (HGU) PT Lotbangko, yang telah dikelola warga sejak 2020, kini diselimuti misteri: terbitnya sertipikat hak atas tanah secara senyap.
Laporan ini mencuat pada Sabtu, 27 September 2025, menandai babak baru sengketa lahan yang dikhawatirkan warga sebagai manuver mafia tanah kelas kakap.
Masa berlaku HGU PT Lotbangko diketahui telah berakhir pada tahun 2019. Sesuai peraturan agraria, lahan eks HGU semestinya kembali dikuasai negara dan berpotensi didistribusikan kepada masyarakat yang berhak. Namun, alih-alih proses redistribusi yang transparan, warga penggarap justru dikejutkan oleh data digital. “Kami tidak tahu atas nama siapa sertipikat itu.
Bahkan pihak BPN sendiri tidak bisa menjelaskan kapan melakukan pengukuran. Tiba-tiba saja lahan kami sudah bersertipikat,” ujar P. Siburian, salah satu warga penggarap sekaligus anggota Lembaga Pemantau Tipikor Nusantara (LP Tipikor Nusantara) Kota Subulussalam, dengan nada geram.
Jejak administrasi sertipikat ini mengarah pada dugaan kuat adanya praktik gelap. Salah seorang penggarap yang mengakses aplikasi daring Badan Pertanahan Nasional (BPN) mendapati adanya “kotak-kotak peta bidang” yang muncul di atas lahan yang mereka kelola.
Penandaan ini mengindikasikan bahwa lahan tersebut telah memiliki status sertipikat yang diterbitkan pada 2022—tiga tahun setelah HGU berakhir dan saat warga sedang intensif menggarap.
P. Siburian menegaskan bahwa proses penerbitan itu cacat administrasi. Menurutnya, tidak pernah ada pemberitahuan, pengukuran lapangan secara terbuka, apalagi sosialisasi kepada masyarakat yang secara fisik menguasai dan mengelola lahan tersebut selama bertahun-tahun.
“Penerbitan ini dilakukan tanpa sepengetahuan kami. Beberapa petak lahan yang sudah kami tanami justru ikut disertipikatkan. Ini namanya akrobat hukum di atas penderitaan rakyat,” tegas Siburian.
Kecurigaan ini semakin menguat lantaran hingga kini, pemilik sertipikat yang namanya tercantum dalam dokumen misterius itu tidak pernah muncul ke hadapan warga.
Ini menimbulkan spekulasi bahwa sertipikat tersebut sengaja diterbitkan untuk “memagari” lahan sebelum dijual kepada pihak ketiga, sebuah taktik khas dalam operasi mafia tanah.
Parlin, seorang wartawan lokal yang mengikuti kasus ini, turut menyuarakan kejanggalan proses penerbitan sertipikat.
Ia menunjuk pada keganjilan prosedur BPN yang seharusnya mewajibkan pengukuran dan verifikasi faktual dengan melibatkan pihak yang menguasai lahan.
“Jika benar lahan warga bisa tiba-tiba disertipikatkan tanpa pengukuran terbuka dan tanpa sosialisasi, ini jelas indikasi kuat adanya mafia tanah. Ini bukan sekadar kesalahan administrasi, tapi mungkin ada kolusi tingkat tinggi,” ujar Parlin02, mendesak agar kasus ini segera dibongkar.
Warga kini secara kolektif mendesak Pemerintah Daerah Subulussalam, aparat penegak hukum, serta lembaga pertanahan agar segera mengambil langkah tegas. Tuntutan utama mereka adalah perlindungan hak-hak masyarakat dan peninjauan kembali, bahkan pembatalan sertipikat misterius yang diduga lahir dari praktik gelap.
Tanpa adanya tindakan cepat, warga khawatir kasus Subulussalam ini akan menjadi preseden buruk bagi konflik agraria di Aceh, di mana hak-hak masyarakat penggarap kerap kali dikalahkan oleh manuver pihak-pihak yang didukung modal dan jaringan birokrasi yang korup.
Media Oposisi News 86.com akan terus memantau respons dari Kantor Wilayah BPN Aceh dan Kepolisian Daerah terkait desakan pengusutan dugaan praktik mafia tanah di Subulussalam ini. [Parlindungan]