Sumbawa Besar, NTB – Kasus penetapan status tersangka terhadap seorang jurnalis sekaligus pegiat sosial di Kabupaten Sumbawa berinisial A terus menuai sorotan publik. A ditetapkan sebagai tersangka pada tanggal 19 juli 2025 oleh Polres Sumbawa atas unggahannya di akun Facebook pribadi yang menyinggung dugaan penggunaan material ilegal dalam proyek jalan dan jembatan kawasan strategis SAMOTA senilai Rp131,9 miliar.
Langkah kepolisian ini memicu gelombang solidaritas dari elemen masyarakat sipil, mulai dari organisasi jurnalis, LSM, hingga akademisi. Mereka menilai penetapan tersangka ini berpotensi menjadi preseden buruk bagi kebebasan berpendapat.
Pengacara muda Rifaldi Giovani, SH, menyebut penetapan tersangka terhadap A tidak tepat secara hukum. Menurutnya, unggahan A tidak memenuhi unsur pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE.
“Unggahan itu menyoroti dugaan penggunaan material dari quarry yang izinnya sudah tidak berlaku. Kata kunci yang dipakai adalah ‘diduga’, yang artinya masih butuh klarifikasi. Itu kritik, bukan fitnah,” jelas Rifaldi, Minggu (17/8/2025).
Ia menambahkan, postingan tersebut tidak menyebut identitas seseorang secara jelas, melainkan hanya inisial. Kritik diarahkan kepada proyek publik yang dibiayai APBN, bukan kepada kehormatan pribadi. “Unsur pencemaran nama baik tidak terpenuhi,” tegasnya.
Rifaldi menegaskan bahwa kritik publik dilindungi oleh Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28F UUD 1945 tentang kebebasan berpendapat dan memperoleh informasi. Selain itu, UU Keterbukaan Informasi Publik (UU No. 14/2008) memberi hak kepada masyarakat untuk mengetahui dan menyebarkan informasi terkait penggunaan anggaran negara.
“Surat Edaran Kapolri Nomor SE/2/II/2021 juga jelas, penanganan UU ITE harus mengutamakan restorative justice dan tidak boleh mempidanakan kritik. Jadi, penetapan tersangka ini cacat hukum,” tegas Rifaldi.
Rifaldi menyebut ada beberapa opsi hukum yang bisa ditempuh untuk membatalkan status tersangka A:
• Meminta SP3 jika bukti dinilai tidak cukup atau peristiwa yang disidik bukan tindak pidana.
• Mengajukan pra-peradilan untuk menguji sah atau tidaknya penetapan tersangka.
• Melaporkan ke LPSK atau Komnas HAM jika ada indikasi kriminalisasi.
• Restorative justice, jika pelapor bersedia menempuh jalur mediasi.
Penetapan tersangka terhadap A juga mendapat kritik dari berbagai kalangan. Ketua Umum LSM Garda yang akrab di sapa bung Vicktor, menilai kasus ini berpotensi membungkam pers.
“Jurnalis berperan sebagai kontrol sosial. Kalau kritik terhadap proyek publik dipidanakan, itu bahaya besar bagi demokrasi,” ujarnya.
Hal senada disampaikan aktivis LSM Gempar NTB, Rudini, S.P, yang menilai kasus ini sebagai bentuk kriminalisasi.
“Unggahan A adalah bentuk partisipasi masyarakat dalam mengawasi APBN. Kalau suara kritis dikriminalisasi, sama saja membungkam rakyat,” katanya.
Dari kalangan akademisi, Dr. Sofyan Creby., menegaskan bahwa kasus ini bertentangan dengan prinsip negara hukum.
“Konstitusi menjamin hak warga untuk menyampaikan pendapat. Kritik publik harus dijawab dengan transparansi, bukan dengan jerat pidana,” pungkasnya.
Rifaldi menutup analisanya dengan menegaskan bahwa penetapan tersangka A tidak memenuhi unsur pidana dan melanggar aturan perundang-undangan lain.
“Pasal pencemaran nama baik hanya berlaku jika ada serangan terhadap individu. Yang dikritik A adalah proyek publik senilai Rp131,9 miliar. Itu ranah kepentingan umum. Karena itu, penetapan tersangka harus dibatalkan demi hukum,” tandasnya. (Fa)m*
Sumbawa Besar, NTB – Kasus penetapan status tersangka terhadap seorang jurnalis sekaligus pegiat sosial di Kabupaten Sumbawa berinisial A terus menuai sorotan publik. A ditetapkan sebagai tersangka pada tanggal 19 juli 2025 oleh Polres Sumbawa atas unggahannya di akun Facebook pribadi yang menyinggung dugaan penggunaan material ilegal dalam proyek jalan dan jembatan kawasan strategis SAMOTA senilai Rp131,9 miliar.
Langkah kepolisian ini memicu gelombang solidaritas dari elemen masyarakat sipil, mulai dari organisasi jurnalis, LSM, hingga akademisi. Mereka menilai penetapan tersangka ini berpotensi menjadi preseden buruk bagi kebebasan berpendapat.
Pengacara muda Rifaldi Giovani, SH, menyebut penetapan tersangka terhadap A tidak tepat secara hukum. Menurutnya, unggahan A tidak memenuhi unsur pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE.
“Unggahan itu menyoroti dugaan penggunaan material dari quarry yang izinnya sudah tidak berlaku. Kata kunci yang dipakai adalah ‘diduga’, yang artinya masih butuh klarifikasi. Itu kritik, bukan fitnah,” jelas Rifaldi, Minggu (17/8/2025).
Ia menambahkan, postingan tersebut tidak menyebut identitas seseorang secara jelas, melainkan hanya inisial. Kritik diarahkan kepada proyek publik yang dibiayai APBN, bukan kepada kehormatan pribadi. “Unsur pencemaran nama baik tidak terpenuhi,” tegasnya.
Rifaldi menegaskan bahwa kritik publik dilindungi oleh Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28F UUD 1945 tentang kebebasan berpendapat dan memperoleh informasi. Selain itu, UU Keterbukaan Informasi Publik (UU No. 14/2008) memberi hak kepada masyarakat untuk mengetahui dan menyebarkan informasi terkait penggunaan anggaran negara.
“Surat Edaran Kapolri Nomor SE/2/II/2021 juga jelas, penanganan UU ITE harus mengutamakan restorative justice dan tidak boleh mempidanakan kritik. Jadi, penetapan tersangka ini cacat hukum,” tegas Rifaldi.
Rifaldi menyebut ada beberapa opsi hukum yang bisa ditempuh untuk membatalkan status tersangka A:
• Meminta SP3 jika bukti dinilai tidak cukup atau peristiwa yang disidik bukan tindak pidana.
• Mengajukan pra-peradilan untuk menguji sah atau tidaknya penetapan tersangka.
• Melaporkan ke LPSK atau Komnas HAM jika ada indikasi kriminalisasi.
• Restorative justice, jika pelapor bersedia menempuh jalur mediasi.
Penetapan tersangka terhadap A juga mendapat kritik dari berbagai kalangan. Ketua Umum LSM Garda yang akrab di sapa bung Vicktor, menilai kasus ini berpotensi membungkam pers.
“Jurnalis berperan sebagai kontrol sosial. Kalau kritik terhadap proyek publik dipidanakan, itu bahaya besar bagi demokrasi,” ujarnya.
Hal senada disampaikan aktivis LSM Gempar NTB, Rudini, S.P, yang menilai kasus ini sebagai bentuk kriminalisasi.
“Unggahan A adalah bentuk partisipasi masyarakat dalam mengawasi APBN. Kalau suara kritis dikriminalisasi, sama saja membungkam rakyat,” katanya.
Dari kalangan akademisi, Dr. Sofyan Creby., menegaskan bahwa kasus ini bertentangan dengan prinsip negara hukum.
“Konstitusi menjamin hak warga untuk menyampaikan pendapat. Kritik publik harus dijawab dengan transparansi, bukan dengan jerat pidana,” pungkasnya.
Rifaldi menutup analisanya dengan menegaskan bahwa penetapan tersangka A tidak memenuhi unsur pidana dan melanggar aturan perundang-undangan lain.
“Pasal pencemaran nama baik hanya berlaku jika ada serangan terhadap individu. Yang dikritik A adalah proyek publik senilai Rp131,9 miliar. Itu ranah kepentingan umum. Karena itu, penetapan tersangka harus dibatalkan demi hukum,” tandasnya. (Fa)





































