Sumbawa Besar, oposisinews86.com, (19 November 2025),— Polemik pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU) Koperasi dalam skema Izin Pertambangan Rakyat (IPR) Lantung kembali memanas. Ketua LSM Gempar NTB, Rudini, S.P, mengeluarkan pernyataan keras yang mengguncang publik dan mengundang tanda tanya besar terhadap transparansi, legalitas, dan motif di balik pengumuman “keberhasilan” yang mendadak dipertontonkan.
Rudini menegaskan bahwa 29 desa yang disebut menerima SHU harus berani bersuara, bukan sekadar menerima skema pembagian yang dinilainya sarat kejanggalan. Menurutnya, pemerintah desa tidak boleh dijadikan alat legitimasi narasi keberhasilan yang secara administratif, teknis, maupun faktual belum terbukti.
“Desa tidak boleh menjadi korban. Jika prosedur tidak dipenuhi, itu bukan keberhasilan — itu manipulasi narasi,” tegasnya.
Rudini menjelaskan bahwa secara regulatif, SHU mustahil dibagikan hanya dalam rentang waktu kurang dari 2,5 bulan, karena terdapat tahapan formal yang wajib dilalui, antara lain, Rapat Anggota Tahunan (RAT), Audit independen, Laporan pertanggungjawaban manajemen, Verifikasi administrasi koperasi
Tanpa itu semua, pembagian SHU tidak memiliki dasar hukum.
“Jika proses ini dilewati, maka pembagian SHU itu ilegal dan berpotensi menyesatkan publik,” tegasnya.
Rudini juga menyoroti adanya dugaan ketidaksesuaian antara jumlah SHU yang dipublikasikan dengan nominal yang diterima desa.
“Bagaimana jika suatu hari masyarakat mempertanyakan sisa SHU kepada kepala desa? Atau bahkan menuding kepala desa tidak transparan? Ini sangat merugikan,” ujarnya.
Ia menilai, kondisi ini berpotensi memicu konflik horizontal hingga krisis kepercayaan terhadap pemerintah desa.
LSM Gempar NTB juga menyoroti fondasi legalitas IPR Lantung itu sendiri. Rudini menyebut, berdasarkan sejumlah temuan dan laporan, IPR tersebut diduga belum memenuhi tahapan fundamental seperti, Dokumen lingkungan (AMDAL/UKL-UPL), Kepala Teknis Tambang (KTT), Pemetaan sosial, Sosialisasi formal kepada warga, Verifikasi dampak ekonomi dan lingkungan.
“Narasi keberhasilan IPR ini justru bertolak belakang dengan fakta administrasi di lapangan,” katanya.
Salah satu sorotan paling tajam adalah kehadiran Kapolda NTB dalam kegiatan yang kemudian dikaitkan dengan penyaluran SHU.
“Publik perlu memahami dengan jelas: apa posisi Kapolda? Apakah ini hanya dukungan situasional, atau ada agenda lain yang belum dijelaskan?” tanya Rudini.
Menurutnya, substansi SHU sepenuhnya merupakan domain koperasi dan teknisnya berada pada ranah ESDM, DLHK, dan pemerintah daerah, bukan kepolisian.
Dalam pernyataan penutup, Rudini menyebut bahwa narasi besar yang dipertontonkan ke publik seolah-olah sebagai kesuksesan IPR justru patut dicurigai.
“Jika program belum memenuhi prosedur tetapi justru dipromosikan sebagai keberhasilan, ada pihak yang ingin mengangkat citra dan kredibilitas di mata pemerintah pusat. Ini tidak sehat,” kritiknya.
Ia menekankan bahwa desa berhak mendapatkan, Informasi jujur, Data lengkap, Proses yang dapat diverifikasi secara independen
“Jangan pertontonkan pembodohan publik. Desa tidak boleh dibiarkan terjebak dalam narasi yang belum terbukti kebenarannya,” tutupnya. (Red)





































