Sumbawa Besar, oposisinews86.com, (Rabu 19 November 2025),— Polemik pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU) Koperasi Produsen Salonong Bukit Lestari kembali memanas. Setelah acara yang diklaim sebagai “Panen Raya Emas” pada Senin lalu, warga Desa Lito, Kecamatan Moyo Hulu—yang selama ini menjadi salah satu wilayah paling terdampak aktivitas tambang emas di Lantung—justru merasa tidak mendapatkan porsi manfaat yang layak.
Kepala Desa Lito, Maswarang,H.MA., akhirnya memecah keheningan. Saat diwawancarai melalui WhatsApp pada Rabu (19/11/2025), ia menegaskan bahwa desanya selama ini hanya menjadi “penerima dampak”, mulai dari aktivitas tambang hingga banjir besar pada tahun 2023, namun tidak pernah dilibatkan secara proporsional dalam mekanisme pembagian manfaat, baik terkait Izin Pertambangan Rakyat (IPR) maupun SHU.
Maswarang mengaku bersyukur atas diterbitkannya IPR yang disahkan pemerintah pada momen “Panen Raya Emas”. Menurutnya, legalitas tersebut memberi ruang bagi desa untuk menuntut penanganan apabila terjadi dampak lingkungan seperti banjir atau kerusakan lain.
“Saat tambang masih ilegal, kami hanya menerima dampaknya tanpa tahu harus mengadu ke mana. Dengan adanya IPR ini, setidaknya kami punya pintu untuk menyampaikan keberatan ke pemerintah provinsi,” tegasnya.
Namun, harapan itu langsung terbentur pada masalah baru, ketidakadilan perekrutan anggota koperasi dan kekacauan pembagian SHU.
Maswarang mengungkapkan hingga kini pihak desa tidak pernah menerima informasi resmi tentang siapa saja warga yang direkrut menjadi anggota koperasi tambang.
“Bukan berarti tidak ada warga kami yang ikut, tapi secara resmi kami tidak tahu. Justru lebih banyak orang luar yang terlihat masuk sebagai anggota,” ujarnya.
Ketidak transparanan itu memicu keresahan warga, terlebih Desa Lito merupakan salah satu wilayah terdekat dari lokasi tambang dan paling sering terdampak.
Kemarahan warga semakin tak terbendung setelah muncul ketidaksesuaian nominal SHU.
Maswarang mengatakan, sehari sebelum acara pihaknya diinformasikan oleh pihak kepolisian bahwa setiap KPM akan menerima Rp 2.800.000. Namun pada hari H, nominal itu berubah menjadi Rp 1.150.000 dalam prosesi simbolis.
“Simbolisnya Rp 1.150.000. Tapi yang diterima warga hanya Rp 1 juta ditambah bingkisan beras 10 kilogram. Ini sangat janggal. Desa kami disamakan dengan desa lain, padahal desa lain tidak terdampak langsung,” tegasnya.
Kades Lito juga mengkritik keras mekanisme pendataan penerima manfaat. Pendataan yang seharusnya menjadi kewenangan pemerintah desa justru diambil alih pihak lain.
“Kami tidak diberi ruang. Tiba-tiba pihak Bhabinkamtibmas, Polda, dan koperasi datang mengambil data desil 1 dan 2 dari Dinas Sosial. Akibatnya, desa yang jauh dari dampak tambang malah dapat bagian lebih banyak,” ucapnya.
Dari total 592 KK, Desa Lito hanya mendapat 182 KPM, jumlah yang dinilai tidak sebanding dengan potensi risiko dan dampak yang mereka tanggung.
Minimnya informasi membuat sebagian warga sempat mencurigai adanya kesepakatan antara pemerintah desa dan pihak koperasi. Namun Maswarang menegaskan, pihaknya justru tidak tahu apa-apa.
“Kami malah bingung. Pemberitahuan pembagian SHU baru datang sehari sebelum acara. Tiba-tiba data sudah ada, penerima sudah ditetapkan. Seolah-olah kami dianggap mengetahuinya dari awal,” tegasnya.
Kondisi itu memicu rencana protes warga yang akan mendatangi kantor Desa Lito untuk meminta penjelasan resmi.
Menghadapi tekanan warganya, Maswarang menegaskan bahwa pemerintah desa akan mengambil langkah resmi.
“Kami akan menyurati pengurus koperasi. Karena yang bertanggung jawab itu koperasi, bukan gubernur atau kapolda. Desa Lito sebagai penyangga awal tambang harus diperlakukan adil—mulai dari pembagian SHU, keanggotaan, hingga pengawasan aktivitas koperasi,” tegasnya.
Maswarang juga menyinggung pernyataan Kades Lantung yang meminta seluruh warganya dimasukkan sebagai penerima manfaat SHU.
“Kalau Lantung bisa menuntut seluruh warganya sebagai penerima karena merasa pemilik lahan, kenapa desa kami tidak? Kami juga terdampak langsung, terutama saat banjir 2023 itu,” ujarnya.
Rencana kedatangan warga ke kantor desa besok menjadi sinyal kuat bahwa persoalan SHU dan keanggotaan koperasi bukan sekadar miskomunikasi, tetapi masalah serius yang menuntut penyelesaian cepat, adil, dan transparan. (Af)




































