KARIMUN – Janji transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana negara seolah menguap di proyek pembangunan Pelindo di Pelabuhan Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau. Proyek yang dibiayai oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini —yang notabene menggunakan kekayaan negara yang dipisahkan— berjalan senyap, tanpa Plang Proyek yang wajib dipajang.
Tindakan ini secara telanjang menabrak prinsip Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dan semangat pengawasan masyarakat.
Tembok Senyap BUMN
Proyek fisik yang dilakukan PT Pelabuhan Indonesia (Persero) di Karimun seharusnya menjadi etalase tata kelola perusahaan yang baik. Namun, ketiadaan papan nama proyek justru memunculkan pertanyaan besar: apa yang disembunyikan?.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) jelas menjamin hak publik atas informasi, termasuk detail proyek yang didanai negara. Meskipun Pelindo berstatus BUMN, pelaksanaan pengadaan barang dan jasanya tetap harus mengacu pada asas transparansi, sebagaimana diamanatkan oleh Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Kewajiban pemasangan plang proyek adalah perintah eksplisit dari regulasi teknis seperti Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (Permen PU) Nomor 12 Tahun 2014, yang bertujuan agar masyarakat dapat mengetahui nama proyek, nilai kontrak, sumber dana, pelaksana, hingga waktu pengerjaannya. Plang proyek adalah kunci pembuka bagi pengawasan publik.
Dalih Regulasi Direksi Melawan Hukum Publik
Saat dikonfirmasi pada Rabu, 5 November 2025, pengawas proyek dari Pelindo Tanjung Balai Karimun, Raja Junjungan Nasution, memberikan pernyataan yang kontroversial. Ia berdalih bahwa secara aturan pengadaan barang dan jasa, PT Pelabuhan Indonesia sebagai BUMN tidak memiliki kewajiban untuk memasang plang pekerjaan.
“Untuk pemilihan dan penetapan pelaksaan penataan terminal penumpang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pengadaan barang dan jasa Sebagaimana peraturan Direksi PT Pelabuhan Indonesia (Persero),” ujar Raja Junjungan.
Pernyataan ini seolah menempatkan Peraturan Direksi BUMN lebih tinggi daripada Undang-Undang KIP dan Perpres Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Dalih ini rapuh dan secara substantif mencederai asas akuntabilitas yang menjadi roh penggunaan dana negara, meskipun itu berstatus kekayaan negara yang dipisahkan.
Sorotan Tajam Masyarakat: “Laporkan ke Kajari!”
Ketidakterbukaan ini memicu reaksi keras dari masyarakat setempat. Salah seorang warga Karimun, sebut saja H, menegaskan bahwa ketiadaan plang proyek adalah pelanggaran serius terhadap asas transparansi.
“Sesuai asas transparansi, dan Undang-Undang KIP dan Perpres sudah seharusnya di pasang plang proyek. Apabila ada plang proyek masyarakat bisa mengetahui anggarannya dari mana, serta dapat berpartisipasi mengawasi jalannya pembangunan tersebut,” tegas H.
Ancaman pun melayang. Warga berjanji akan menggunakan hak pengawasannya secara penuh, termasuk melaporkan potensi penyimpangan kepada aparat penegak hukum.
“Bila nantinya kita melihat ada yang tidak sesuai dan hasilnya tidak bagus, kita akan laporkan, dan minta Kajari Karimun untuk memeriksa,” tutup H dengan nada tegas.
Kekhawatiran masyarakat beralasan. Proyek tanpa identitas adalah sarang empuk bagi potensi mark-up, pengurangan spesifikasi, hingga penyimpangan anggaran. Pelindo wajib mengingat, meskipun berstatus korporasi, setiap rupiah yang dikelola adalah uang publik yang menuntut pertanggungjawaban paripurna.
Kegagalan memasang plang proyek bukan sekadar kelalaian administrasi, melainkan indikasi serius tentang rendahnya komitmen terhadap transparansi dan tata kelola yang baik. [Sajirun, S]





































