Subulussalam – kamis 6 november 2025 Rasa duka mendalam masih menyelimuti hati istri almarhum Murdadi, korban pembunuhan tragis yang terjadi di Desa Panglima Sahman, Kecamatan Rundeng, Kota Subulussalam, pada 13 Februari 2025 lalu. Kasus yang sempat mengguncang warga setempat itu kini memasuki babak akhir setelah Majelis Hakim Pengadilan Negeri Aceh Singkil menjatuhkan putusan terhadap para pelaku.
Dalam sidang yang digelar pada Senin, 4 November 2025, majelis hakim memvonis tiga terdakwa—Junaidi (23), Mardoni (21), dan Roni (23)—dengan hukuman 17 tahun penjara. Ketiganya dinyatakan bersalah secara sah dan meyakinkan atas tindak pidana pembunuhan berencana terhadap korban Murdadi.

Putusan tersebut dibacakan langsung oleh Ketua Majelis Hakim setelah melalui serangkaian persidangan panjang yang menghadirkan sejumlah saksi dan alat bukti. Dalam amar putusannya, hakim menegaskan bahwa tindakan para terdakwa telah menghilangkan nyawa seseorang secara sengaja dan menimbulkan penderitaan yang mendalam bagi keluarga korban.
Usai sidang, suasana haru menyelimuti ruang pengadilan. Istri korban tampak tak kuasa menahan tangis saat mendengar putusan tersebut. Dalam keterangannya kepada wartawan, ia mengaku belum sepenuhnya puas dengan keputusan hakim.
“Saya masih belum merasa puas dengan keputusan hakim, karena tidak ada hukuman yang bisa menggantikan kehilangan suami saya. Karena itu kami akan mengupayakan banding, agar pelaku bisa dihukum seberat-beratnya,” ujarnya dengan suara bergetar.
Sementara itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU), Idam Khalid Daulay, SH, yang didampingi rekannya Ezi Siregar, menyatakan menghormati langkah hukum yang akan diambil oleh pihak keluarga korban.
> “Kami menghormati hak keluarga korban untuk mencari keadilan yang lebih maksimal. Jaksa siap mendukung proses banding ini sesuai ketentuan hukum yang berlaku,” ungkap Idam kepada wartawan.
Istri korban juga menceritakan penderitaan berat yang harus ia jalani sejak peristiwa tragis itu terjadi.
“Semenjak suami saya dibunuh, penderitaan kami semakin bertambah. Saya sekarang harus menjadi ibu tunggal untuk membesarkan anak saya, sementara saya tidak punya pekerjaan. Saat suami saya dibunuh, saya sedang hamil besar dan tinggal menunggu waktu melahirkan. Belum sembuh duka yang kami rasakan, beberapa minggu kemudian anak yang baru saya lahirkan pun meninggal dunia. Itu membuat saya semakin terpukul dan semakin dalam duka yang saya derita,” tuturnya lirih.
Ia juga menyesalkan sikap keluarga para pelaku yang dinilainya tidak menunjukkan rasa bersalah maupun empati terhadap penderitaannya.
“Walaupun sudah terjadi seperti ini, pihak keluarga pelaku tidak pernah menunjukkan rasa bersalah atau beritikad baik. Mereka tidak pernah merasa kasihan terhadap anak saya yang menjadi yatim akibat perbuatan keluarganya. Bahkan ada di antara mereka yang justru memancing emosi pihak keluarga kami,” ujarnya dengan nada kecewa.
Kasus pembunuhan ini sempat menjadi perhatian luas masyarakat Subulussalam. Warga berharap, dengan dijatuhkannya putusan ini, keadilan benar-benar ditegakkan dan menjadi pelajaran bagi masyarakat agar tidak mudah terprovokasi atau menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan persoalan. Reporter: [ER.K]





































