Aceh Utara – Perseteruan agraria antara masyarakat Geureudong Pase dengan perusahaan perkebunan PT Satya Agung kian berlarut Hingga akhir September 2025, mediasi masyarakat dengan PT Satya Agung yang difasilitasi Kapolres Lhokseumawe di Aula kantor Kecamatan setempat pada Selasa (30/9) belum membuahkan hasil yang konkret.
Dalam mediasi tersebut, selain Kapolres Lhokseumawe AKBP Ahzan, juga dihadiri Dandim 0103 Letkol Arh Jamal Dani Arifin, Ketua DPRK Arafat Ali, hingga perwakilan Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Sebelumnya warga dengan tegas menyatakan perusahaan telah menyeroboti, menguasai lahan garapan bahkan pemukiman mereka selama puluhan tahun tanpa dasar hukum yang jelas. “ ini tanah kami, kita tidak pernah mengusik perusahaan, tapi kenapa perusahaan menabuh gendang perang dengan merampas tanah masyarakat, Kami sudah menyampaikan bukti kepemilikan adat, sertifikat dan sejarah penguasaan tanah, tapi perusahaan terus berlindung di balik izin yang tak pernah terbuka ke publik,” ujar seorang perwakilan masyarakat saat mediasi Selasa, 30 September 2025.
“Menurutnya, masyarakat sudah cukup menderita dan dirugikan selama bertahun-tahun akibat pencaplokan lahan, karena lahan tersebut merupakan satu satunya aset yang mereka dimiliki,” pungkasnya geram.
Management perusahaan membantah
Management PT Satya Agung melalui Head Legal Hendra Khan membantah tudingan tersebut menurutnya, perusahaan memiliki dokumen HGU yang sah secara hukum, diterbitkan oleh pemerintah pusat, dan telah melalui proses verifikasi berlapis. “Peta HGU kami bisa ditelusuri secara terbuka. Patok batas HGU kami dengan lahan sengketa jauhnya sekitar 1, 3 Km. Jika tiba tiba ada tanah warga dituding masuk dalam HGU kami, silahkan konfirmasi dengan pihak BPN, itu adalah kewenangan mereka, yang jelas lahan masyarakat tersebut bukan milik perusahaan dan itu diluar dari peta kami.” ujarnya.
Meski begitu, PT Satya Agung mengaku terbuka untuk berdialog dengan masyarakat maupun pemerintah daerah guna menghindari konflik berkepanjangan. “ kita menghormati dan memberi ruang kepada Pansus, DPRK dan Pemda untuk bekerja menyelesaikan persoalan ini, Kami mendukung penyelesaian secara hukum dan musyawarah. Tidak ada kepentingan kami merugikan masyarakat, karena keberadaan perusahaan seharusnya justru memberi manfaat,” jelasnya.
BPN tidak tahu – membiarkan – atau justru teribat
Sementara pada saat mediasi, perwakilan BPN Aceh Utara menyebutkan, menurut data, lahan dan permukiman masyarakat masuk dalam HGU sejak tahun 1982, walau perusahaan tidak mengakui. Tapi, ntumpang tindih data mungkin disebabkan ada kesalahan dari petugas atau Aplikasi dan mereka berjanji akan mengukur ulang titik koordinat serta memasang patok baru dalam waktu enam bulan.
Badan Pertanahan Nasional (BPN), adalah Lembaga negara yang mestinya menjadi pengawal kepastian hukum atas tanah justru dipertanyakan integritasnya. Apakah BPN benar-benar tidak tahu karena kesalahan petugas dilapangan, eror Aplikasi atau justru terlibat memberi ruang kepada Korporasi.
Bukti dilapangan memperlihatkan adanya tumpang tindih sertifikat dan penerbitan HGU di atas lahan yang sejak lama digarap masyarakat. Ironisnya, lembaga yang memiliki kewenangan penuh dalam pengukuran dan penerbitan dokumen justru plin-plan.
Kecurigaan publik makin kuat lantaran pihak agraria tak kunjung memberi penjelasan yang akurat. Alih-alih menjadi penengah, institusi ini justru dicurigai sebagai pemicu konflik.
Integritas BPN Aceh Utara, menambah panjang daftar pertanyaan. Apakah negara benar-benar berpihak pada rakyat, atau sekadar menjadi stempel bagi kepentingan korporasi.
Peran DPRK – Janji semu atau hasil nyata
Ketua DPRK Aceh Utara, Arafat Ali, SE., MM. dengan tegas memastikan, persoalan HGU bisa diselesaikan dalam kurun waktu dua bulan, bukan dua tahun.
Menurutnya , DPRK bersama pemerintah daerah, Tim pansus dan aparat keamanan berkomitmen menyelasaikan persoalan ini agar tidak terjadi lagi konflik horizontal. “Kita akan mendorong adanya jalan tengah yang adil antara masyarakat dan perusahaan, berikan kami waktu dua bulan” tegas Arafat.
Masyarakat kini menanti janji ketua DPRK, apakah janji semu atau hasil nyata. Publik menilai, DPRK punya dua pilihan, benar-benar berpihak kepada rakyat dengan memperjuangkan hak mereka hingga tuntas, atau hanya menjadi pelengkap administrasi yang membiarkan status perselisihan berlanjut. Kasus Geureudong Pase pun menjadi ujian serius bagi komitmen wakil rakyat di Aceh Utara, apakah mereka mampu menegakkan keadilan agraria, atau sekadar menjadi penonton dalam konflik berkepanjangan.
Persoalan Geureudong Pase mencerminkan problem laten agraria di Aceh Utara, tumpang tindih izin dengan hak-hak masyarakat lokal yang diabaikan. Kalau tidak diselesaikan dengan cepat, konflik ini berpotensi menjadi bara sosial yang meluas. (SR)