Sumbawa, oposisinews86.com (26 Agustus 2025) – Proses konsultasi publik tahap II revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sumbawa kembali menuai kritik tajam. Suparjo Rustam, SH, C.Md., CLA., mahasiswa pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Mataram, menilai forum yang diselenggarakan Pemkab Sumbawa tersebut tidak memberi ruang partisipasi yang nyata bagi masyarakat adat, padahal mereka merupakan pihak yang paling terdampak dari kebijakan tata ruang.
Dalam wawancara pada Selasa (27/8/2025), Suparjo mengungkapkan kekecewaannya atas jalannya konsultasi publik. Menurutnya, pemerintah hanya menghadirkan tokoh adat simbolik tanpa melibatkan komunitas adat yang benar-benar memiliki wilayah dan peta tata ruang leluhur.
“Masyarakat adat yang selama ini sudah melakukan pemetaan partisipatif justru tidak dilibatkan. Yang dihadirkan hanya tokoh adat yang tidak memiliki wilayah adat dan pengetahuan memadai soal tata ruang leluhur,” tegasnya.
Padahal, Bupati Sumbawa dalam pembukaan konsultasi publik pertama beberapa pekan lalu menyatakan bahwa revisi RTRW ini dilakukan demi “kesejahteraan masyarakat tanpa mengabaikan kelestarian alam serta kearifan lokal ‘Tau dan Tana’ Samawa’.” Namun, menurut Suparjo, pernyataan itu sebatas jargon politik tanpa implementasi yang jelas.
Suparjo menilai praktik konsultasi publik di Sumbawa bertolak belakang dengan kebijakan nasional One Map Policy (OMP) yang digagas sejak 2011. Kebijakan tersebut dirancang untuk menyatukan seluruh peta tematik, termasuk peta wilayah adat, ke dalam satu referensi geospasial tunggal.
“Jika pemerintah pusat sudah bicara sinkronisasi peta, semestinya peta masyarakat adat juga dijadikan rujukan dalam RTRW. Jika diabaikan, revisi RTRW Sumbawa jelas kehilangan legitimasi,” ujarnya.
Secara nasional, OMP telah menunjukkan capaian signifikan. Data pemerintah mencatat sejak 2019 hingga pertengahan 2024, ketidaksesuaian pemanfaatan ruang berkurang hampir 20 juta hektare, dengan tumpang tindih lahan turun dari 77 juta hektare menjadi sekitar 57 juta hektare. Sebanyak 151 peta tematik dari 23 kementerian/lembaga kini terintegrasi dalam Geoportal OMP dan diterapkan di 38 provinsi.
Pemerintah pusat bahkan telah menyiapkan White Paper “One Map Policy Beyond 2024” untuk memperkuat keberlanjutan kebijakan tersebut, meliputi pembaruan peta dasar, peningkatan infrastruktur geoportal, dan integrasi sistem perizinan berbasis OSS. Presiden Prabowo Subianto menegaskan saat peluncuran Geoportal OMP 2.0, “Tata ruang yang efisien adalah fondasi menghadapi kompetisi global sekaligus menjaga kepastian berusaha.”
Suparjo mengingatkan, keberhasilan OMP di tingkat nasional akan runtuh jika praktik di daerah tidak sejalan. “Pemerintah pusat bicara soal One Map Policy untuk sinkronisasi data, tapi di daerah seperti Sumbawa, konsultasi RTRW tetap mengabaikan peta masyarakat adat. Ini ketidakkonsistenan serius yang bisa memicu konflik agraria baru,” tegasnya.
Ia menilai RTRW yang tidak mengakui keberadaan masyarakat adat berpotensi menjadi instrumen legalisasi proyek-proyek ekstraktif, seperti pertambangan dan perkebunan skala besar.
“Dokumen tata ruang bisa terlihat rapi di meja, namun bisa meledak di lapangan,” tandasnya.
Di akhir pernyataannya, Suparjo mendesak Pemkab Sumbawa untuk melakukan perbaikan menyeluruh terhadap proses konsultasi publik revisi RTRW ini.
“Kalau pemerintah serius, kursi utama harus diberikan kepada komunitas adat yang memiliki basis data faktual dan terintegrasi, bukan sekadar menghadirkan adat simbolik. Kalau tidak, legitimasi RTRW ini sudah hilang sejak awal,” pungkasnya. (Af)