Gayo Lues – PT Gayo Mineral Resources (PT GMR), perusahaan tambang yang beroperasi di Kecamatan Pantan Cuaca, Kabupaten Gayo Lues, kini berada di ujung tanduk.
Mereka bukan hanya diduga melanggar batas izin eksplorasi, tetapi secara mencengangkan telah merangsek masuk ke kawasan hutan lindung, mengancam salah satu paru-paru dunia, Kawasan Ekosistem Leuser.
Lembaga Leuser Aceh tak main-main: aktivitas ini harus segera dihentikan, atau negara ikut bersalah merusak lingkungannya sendiri!
Pelanggaran Brutal di Jantung Konservasi
Dokumentasi lapangan yang diterima BARA NEWS pada Jumat, 20 Juni 2025, mengungkapkan fakta mengerikan. Alat berat milik PT GMR, pembukaan jalur ilegal, dan berbagai aktivitas teknis lainnya terlihat jelas berada di zona hutan lindung. Ini bukan sekadar kesalahan administratif; ini adalah pelanggaran hukum terang-terangan terhadap Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Aturan jelas menyatakan, aktivitas pertambangan di hutan lindung hanya bisa dilakukan dengan izin pinjam pakai dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)—izin yang disinyalir kuat tidak dimiliki PT GMR.
Abdiansyah, Sekretaris Lembaga Leuser Aceh, tak dapat menyembunyikan amarahnya. “Kegiatan mereka sudah jelas melampaui batas wilayah eksplorasi. Beberapa titik alat berat dan pembukaan jalur berada dalam zona hutan lindung. Ini bukan soal administrasi semata—ini pelanggaran hukum dan ancaman nyata terhadap kawasan konservasi!” tegasnya di Blangkejeren.
Legalitas “Gaib” dan Ancaman Bencana Ekologis
Kecurigaan semakin kuat lantaran tidak ada satu pun dokumen persetujuan lingkungan seperti UKL-UPL atau AMDAL yang dipublikasikan secara transparan.
“Kami sudah menelusuri portal OSS-RBA, situs resmi Dinas Lingkungan Hidup Aceh, bahkan ke tingkat kabupaten. Tidak ada satupun dokumen yang menunjukkan legalitas kegiatan mereka di kawasan lindung.
Ini jelas pelanggaran,” imbuh Abdiansyah, mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 yang mewajibkan transparansi lingkungan.
Lembaga Leuser Aceh, yang telah memantau perusahaan ini sejak awal, juga menyoroti ketiadaan publikasi peta wilayah eksplorasi PT GMR. Ini memicu dugaan kuat bahwa kegiatan di luar wilayah izin dilakukan secara sembunyi-sembunyi, menghindari pengawasan.
“Tidak transparan, tidak sesuai prosedur, dan dilakukan di kawasan lindung. Kalau pemerintah tetap membiarkan ini, maka negara sendiri yang sedang merusak sistem perlindungan lingkungan yang telah dibangun puluhan tahun,” tandas Abdiansyah.
Ancaman kerusakan bukan hanya pada hukum, melainkan juga pada kehidupan masyarakat Gayo Lues.
Kawasan hutan lindung yang dijamah PT GMR adalah daerah tangkapan air vital.
Jika ekosistem ini rusak, bencana ekologis seperti longsor, banjir bandang, hingga krisis air bersih akan menjadi kenyataan pahit bagi ribuan warga.
Desakan Kuat: Audit Total dan Intervensi Pusat!
Hingga berita ini diturunkan, manajemen PT GMR bungkam seribu bahasa.
Upaya konfirmasi melalui kontak resmi perusahaan nihil respons. Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh serta Dinas Lingkungan Hidup pun belum mengeluarkan pernyataan resmi, menambah daftar panjang kebisuan di tengah krisis ini.
Gelombang protes dari masyarakat sipil dan organisasi lingkungan terus membesar. Desakan agar Gubernur Aceh segera membentuk tim independen untuk mengaudit seluruh aktivitas PT GMR secara menyeluruh dan transparan menggema kuat.
Tak hanya itu, DPR Aceh dan Komisi IV DPR RI didesak untuk segera turun langsung ke lapangan, menyelidiki dugaan pelanggaran ini dan memastikan proses hukum berjalan tegak lurus, tidak berhenti di meja birokrasi.
Masyarakat berharap perlindungan kawasan hutan dan keselamatan ekologis generasi mendatang menjadi prioritas utama.
“Kalau ini dibiarkan, bukan hanya PT GMR yang salah. Tapi negara ikut bersalah karena membiarkan kehancuran lingkungan secara legal,” pungkas Abdiansyah, menuntut pertanggungjawaban penuh dari semua pihak. []