Oleh: [Redaksi]
Gayo Lues – Rotasi kepemimpinan adalah siklus alamiah dalam organisasi, tak terkecuali di lingkungan Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Namun, ketika seorang pemimpin seperti Heri Yulianto, S.H., M.H., bergeser dari Kepala Kejaksaan Negeri Gayo Lues menuju tampuk baru di Kejaksaan Negeri Siak, Provinsi Riau, narasinya lebih dari sekadar pergeseran jabatan.
Ini adalah kisah tentang visi penegakan hukum yang berkarakter, yang meninggalkan jejak integratif dan humanis di “Tanah Seribu Bukit.”
Dalam pandangan publik, Kejaksaan sering kali dipersepsikan sebagai institusi yang melulu represif.
Heri Yulianto hadir membawa narasi tandingan. Selama memimpin Kejari Gayo Lues, beliau tidak hanya berfokus pada penindakan, tetapi justru memperkuat garda depan pencegahan dan pendampingan hukum.
Langkah-langkah strategis seperti pendampingan hukum terhadap pemerintah daerah, BUMD, Bank Aceh Syariah, hingga Perumda Air Minum Tirta Sejuk, menegaskan bahwa Kejaksaan adalah mitra strategis dalam menjaga akuntabilitas keuangan dan tata kelola publik.
Melalui peran Jaksa Pengacara Negara (JPN), Kejaksaan Gayo Lues bertransformasi menjadi “konsultan hukum” yang proaktif, memastikan kebijakan publik berjalan sesuai koridor hukum sebelum terjadi penyimpangan. Ini adalah upaya nyata dalam menanam integritas sejak dini.
Di sisi penindakan, keberanian Heri Yulianto teruji melalui penanganan kasus-kasus sensitif, seperti dugaan tindak pidana korupsi seleksi PPPK tahun 2022 dan tindak lanjut laporan kecurangan seleksi tahun 2024.
Penanganan kasus korupsi, terutama yang menyentuh ranah pelayanan publik dan rekrutmen abdi negara, selalu menjadi barometer komitmen Kejaksaan dalam menjalankan prinsip “hukum tanpa pandang bulu.”
Di bawah kepemimpinannya, Kejari Gayo Lues telah membuktikan komitmen tersebut dengan langkah hukum yang profesional dan terukur.
Namun, yang paling menonjol dan patut diapresiasi adalah pendekatan humanis melalui Restorative Justice (RJ).
Keberhasilan menyelesaikan empat perkara pidana ringan sepanjang tahun 2024—meliputi pencurian dan penggelapan—melalui mediasi dan pemulihan, adalah bukti nyata bahwa Kejaksaan Gayo Lues memahami filosofi keadilan yang lebih dalam dari sekadar pemenjaraan.
Penerapan RJ, yang selaras dengan Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020, menunjukkan bahwa hukum harus memiliki “wajah kemanusiaan,” mengedepankan pemulihan hubungan sosial dan keadilan substansial, bukan sekadar kepastian formal. Ini adalah model penegakan hukum yang relevan dengan kearifan lokal dan kebutuhan masyarakat.
Tak kalah penting, Heri Yulianto juga berhasil membangun sinergi yang solid dengan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda).
Koordinasi intensif dengan Polres, Kodim, dan Pemerintah Kabupaten Gayo Lues adalah fondasi penting untuk stabilitas hukum dan sosial. Lingkungan kerja yang kondusif adalah prasyarat bagi efektivitas sebuah institusi.
Kini, dengan membawa bekal “menyemai integritas” dan “semangat hukum humanis,” Heri Yulianto melangkah menuju Bumi Lancang Kuning, Siak. Kabupaten Siak, dengan dinamika perekonomian dan pembangunan yang khas, tentu menghadirkan tantangan berbeda, terutama dalam konteks penegakan hukum terkait sumber daya alam, pembangunan infrastruktur, dan tata kelola pemerintahan di daerah yang lebih maju.
Publik menaruh harapan besar agar jejak integritas, kolaborasi, dan humanisme yang telah ditorehkan di Gayo Lues dapat terwujudkan bahkan diperkuat di Kejaksaan Negeri Siak. Kehadiran Kajari dengan rekam jejak yang solid dalam pencegahan korupsi dan penerapan RJ diharapkan dapat memberikan angin segar bagi penegakan hukum di Riau.
Kepindahan ini bukan akhir, melainkan estafet pengabdian. Warisan penegakan hukum yang adil, transparan, dan berpihak pada kepentingan masyarakat di Gayo Lues adalah modal berharga.
Kita menantikan bagaimana semangat “Hukum Humanis” ala Heri Yulianto akan membawa perubahan signifikan di Kejaksaan Negeri Siak, menjadikan institusi Adhyaksa semakin dipercaya publik dan benar-benar menjadi pilar keadilan.