Aceh Singkil — Suasana di warung kopi milik Sdr. Mama Risa, Desa Siompin, Kecamatan Suro, Kabupaten Aceh Singkil, tak seperti hari biasa, Rabu (24/9/2025).
Sekelompok warga dari Desa Siompin dan Keras duduk melingkar bersama Kapolsek Suro, IPTU Nailul Amali, dalam sebuah forum informal yang akrab disapa “Kopi Worning.”
Acara ini bukan sekadar ajang minum kopi, melainkan sebuah ruang arsitektural untuk mendesain dialog antara masyarakat dan aparat kepolisian, merangkai aspirasi, dan mencari solusi atas persoalan keamanan yang mengakar.
Perancangan Dialog Publik: Membangun Jembatan Komunikasi
Kegiatan yang diinisiasi oleh Polsek Suro ini didasari filosofi bahwa keamanan adalah produk kolaborasi, bukan hanya tugas satu pihak. IPTU Nailul Amali memposisikan Polri sebagai mitra masyarakat, bukan sekadar penegak hukum.
“Kegiatan ini adalah ruang terbuka bagi masyarakat untuk menyampaikan keluh kesah, aspirasi, maupun saran kepada kami,” ujar IPTU Nailul.
Pendekatan ini secara strategis membongkar sekat birokrasi, menciptakan jembatan komunikasi yang lebih cair dan solutif.
Kehadiran jajaran Polsek Suro, Kepala Desa Siompin Hantar Manik, Kepala Desa Keras, serta perangkat desa dan Ketua BPG, menjadi fondasi bagi struktur dialog yang komprehensif. Forum ini memungkinkan setiap elemen masyarakat—dari petani hingga tokoh adat—untuk menyuarakan perspektifnya, membangun gambaran utuh tentang dinamika keamanan lokal.
Denah Permasalahan: Skala Mikro hingga Makro
Diskusi yang mengalir dalam forum ini menyentuh berbagai isu, mencerminkan kerumitan permasalahan di tingkat desa.
Maraknya Pencurian Sawit:
Petani mengeluhkan kerugian akibat pencurian buah kelapa sawit. Hantar Manik, Kepala Desa Siompin, secara lugas meminta peningkatan patroli dan penegakan hukum yang tegas terhadap para pelaku. Isu ini menyoroti kerapuhan ekonomi masyarakat yang sangat bergantung pada hasil perkebunan.
Efisiensi Pelayanan Administrasi: Perangkat desa mengajukan usulan perbaikan layanan administrasi, khususnya dalam proses penerbitan Surat Keterangan Kehilangan Barang (LKB).
Usulan ini menunjukkan adanya kebutuhan akan sistem pelayanan yang lebih cepat dan efisien, meminimalkan hambatan birokrasi yang seringkali menghambat warga.
Penegakan Hukum terhadap Judi Online (Judol): Isu perjudian online mencuat sebagai masalah sosial yang meresahkan. Warga menyoroti lemahnya sanksi, sementara Ketua BPG Desa Keras secara khusus mempertanyakan penegakan hukum terhadap pelaku non-Muslim, termasuk kemungkinan penerapan hukuman cambuk yang diatur dalam Qanun Aceh.
Blueprint Solusi: Respons Terstruktur dari Kepolisian
Menanggapi keluhan masyarakat, IPTU Nailul Amali memberikan respons yang terstruktur, menjelaskan alur penanganan sesuai dengan struktur hukum dan hierarki kepolisian.
Peningkatan Patroli dan Kolaborasi: Terkait pencurian sawit, ia menegaskan bahwa Polsek Suro akan meningkatkan patroli dan mengimbau warga untuk secara kolektif berpartisipasi dalam menjaga keamanan lingkungan.
Hierarki Penanganan Judol: Menanggapi isu judol, IPTU Nailul menjelaskan bahwa kasus-kasus serius biasanya ditangani oleh Unit Reskrim Polres.
Ia juga memberikan klarifikasi penting: meskipun beberapa pelaku bisa mendapatkan penangguhan, mereka tetap bisa dijerat dengan Qanun Aceh, termasuk sanksi cambuk.
Aplikasi Qanun bagi Non-Muslim: Menjawab pertanyaan kritis dari Ketua BPG, IPTU Nailul menjelaskan bahwa semua penduduk di Aceh tunduk pada aturan lokal.
Namun, warga non-Muslim memiliki hak untuk memilih antara penerapan hukum Qanun atau KUHP Nasional, sebuah opsi hukum yang memberikan fleksibilitas dalam konteks otonomi khusus Aceh.
Peringatan Terakhir:
Pencegahan dan Perlindungan Lingkungan
Sebagai penutup, IPTU Nailul Amali memperluas cakupan dialog ke isu yang lebih luas: pencegahan kebakaran lahan.
Ia mengingatkan warga bahwa membakar lahan adalah pelanggaran hukum yang berdampak fatal bagi lingkungan dan kesehatan.
Peringatan ini menegaskan bahwa tugas kepolisian tidak hanya terbatas pada isu-isu kriminal, tetapi juga mencakup perlindungan lingkungan dan edukasi publik.
Kegiatan “Kopi Worning” ini menjadi model arsitektur sosial yang sukses, di mana interaksi informal menghasilkan solusi formal, dan komunikasi yang cair membangun kepercayaan antara warga dan aparat.
Harapannya, forum ini akan terus menjadi cetak biru bagi pembangunan hubungan yang solid dan berkelanjutan antara Polri dan masyarakat di Aceh Singkil. [ER.K]