Sumbawa Besar, oposisinews86.com, (Kamis 20 November 2025),— Polemik pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU) yang dikemas dalam acara “Panen Raya Emas” terus menuai pertanyaan di tingkat desa.
Kepala Desa Padesa Lantung Kecamatan lantung kabupaten sumbawa, Saipuddin, akhirnya angkat bicara setelah dikonfirmasi wartawan melalui WhatsApp pada Kamis (20/11/2025).
Ia mengungkapkan fakta-fakta lapangan yang selama ini tidak pernah disampaikan ke publik. Saipuddin membenarkan kehadirannya dalam acara yang digelar Kapolda NTB dan Gubernur NTB di halaman kantor bupati.
“Ya, saya hadir sebagai kepala desa. Desa kami memang berada dalam kawasan kegiatan pertambangan emas di Kecamatan Lantung,” ungkapnya.
Namun, di balik itu, ia menegaskan bahwa tidak ada sosialisasi apa pun sebelumnya terkait rencana pembagian SHU ataupun pendataan penerima manfaat.
Saipuddin menyebutkan bahwa Bhabinkamtibmas secara mendadak meminta data warga miskin (desil 1 dan 2) dengan alasan perintah dari Polda.
“Tidak ada sosialisasi. Tiba-tiba Bhabinkamtibmas datang meminta data kemiskinan. Katanya untuk SHU dari Koperasi Selonong Bukit Lestari,” katanya.
Dari 127 KK di Desa Padesa Lantung, sebanyak 65 orang masuk daftar KPM. Namun hanya 35 orang yang hadir dan menerima uang langsung dalam acara tersebut.
“Sebenarnya per orang dapat Rp2.800.000. Tapi yang diterima hanya Rp2.600.000 plus bingkisan. Saat masuk, KTP langsung diserahkan dan diberikan amplop,” jelasnya.
Meski ada selisih nominal, Saipuddin menyebut masyarakat tidak mempermasalahkan hal tersebut. Fakta lain yang mencuat adalah ketiadaan program CSR sejak awal kegiatan tambang emas berlangsung, termasuk minimnya komunikasi dari pihak koperasi.
“CSR belum ada sama sekali. Soal koperasi, jangankan jadi anggota, jumlah anggotanya saja kami tidak pernah diberitahu. Perekrutan pun tidak pernah disosialisasikan,” tegasnya.
Ia juga menyoroti adanya dugaan bahwa anggota koperasi bukan hanya warga lokal, “Jika benar anggota koperasi banyak dari luar, kami keberatan. Seharusnya prioritaskan warga desa kami dulu karena wilayahnya ada di sini,” tambahnya.
Meski banyak kejanggalan dalam mekanisme SHU, Saipuddin mengaku tetap mendukung keberadaan IPR karena dinilai lebih baik dibanding tambang ilegal yang sebelumnya marak terjadi.
“Kami bersyukur IPR terbit. Dulu tambang ilegal merusak hutan dan kami serba salah. Dengan IPR, kegiatan jadi legal, masyarakat tidak terusik lagi, dan kami tidak malu meminta bantuan,” ujarnya.
Namun ia juga menyinggung hal teknis di lapangan, “Saya belum melihat alat berat masuk. Tampaknya lokasi yang digarap masih bekas lahan penambang lama.”
Kondisi wilayah yang sangat kering serta tidak adanya bendungan membuat masyarakat berharap banyak pada sektor tambang.
“Di sini menanam padi saja sulit hidup. Air hanya mengandalkan hujan. Jadi IPR ini kami dukung agar masyarakat ada harapan ekonomi,” jelasnya.
Dalam wawancara tersebut, Saipuddin menyampaikan harapan besar agar pemerintah tidak hanya menerbitkan satu IPR saja di Lantung.
“Kalau bisa, terbitkan IPR di lokasi lain juga, supaya masyarakat se-Kabupaten Sumbawa bisa merasakan. Sesuai moto: Samawa Intan Bulaeng,” tutupnya.
Pernyataan Kades Padesa Lantung membuka fakta:
• Tidak ada sosialisasi terkait SHU, koperasi, maupun perekrutan anggota.
• Pembagian uang dilakukan mendadak melalui data Bhabinkamtibmas.
• Ada selisih nominal dari yang seharusnya diterima.
• CSR dari kegiatan tambang belum pernah dirasakan warga.
• Keterlibatan anggota koperasi dari luar desa memicu tanda tanya besar.
Di balik rasa syukur masyarakat menerima bantuan tunai, persoalan transparansi, mekanisme, dan legalitas alur SHU tetap menjadi sorotan publik — terutama saat pemberian SHU dilakukan dalam kegiatan yang dipimpin pejabat pemerintah dan kepolisian, padahal secara regulasi SHU merupakan ranah koperasi. (Af)





































