Batam – Raungan bengis mesin-mesin penghancur ekosistem adalah simfoni harian di pinggiran Jalan Hang Tuah Kabil, Nongsa, Kota Batam. Di bawah inisial misterius DN (USG) yang konon “tak tersentuh hukum”, sebuah operasi penambangan bauksit ilegal telah merajalela selama dua bulan, menantang nurani publik dan otoritas penegak hukum.
Ini bukan sekadar pelanggaran hukum biasa. Ini adalah sebuah penghinaan terang-terangan terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, terhadap lingkungan hidup, dan yang paling mencengangkan: terhadap wibawa negara.
Debu Keserakahan Dan Kebiasaan Aparat
Setiap hari, awan debu tebal—bukan sekadar polusi, melainkan simbol kasat mata dari korupsi struktural—menyelimuti Kabil. Truk-truk pengangkut hilir-mudik, angkuh seolah mengantongi izin dari otoritas tertinggi di negeri ini. Papan izin? Tak ada. Standar lingkungan? Diabaikan. Yang ada hanyalah lubang menganga di bumi Batam dan janji keuntungan miliaran yang diduga mengalir ke kantong-kantong pemodal ber-‘beking’ kuat.
“Kadang polisi lewat, tapi tidak berhenti. Kami jadi bertanya-tanya, apakah mereka tidak tahu ini ilegal, atau pura-pura tidak tahu?” Keluhan warga ini bukan lagi sekadar pertanyaan, melainkan sebuah tudingan serius tentang pembiaran yang disengaja. Bagaimana mungkin aktivitas ilegal yang begitu masif, beroperasi di pinggir jalan utama, luput dari pandangan mata aparat?
Jawabannya terindikasi kuat: hukum telah terkooptasi.
Sumber di lapangan berbisik tentang jaringan pemodal kuat yang membangun tembok impunitas, menjamin bahwa keuntungan dari setiap truk bauksit (dijual seharga Rp800 ribu hingga Rp1 juta) jauh lebih berharga daripada integritas penegak hukum.
Ekosistem Hancur, Wibawa Negara Hilang
Ironi Batam, kota yang diagungkan sebagai gerbang investasi, kini ternoda oleh lumpur bauksit ilegal. Jika pembiaran ini terus berlanjut, prediksi warga tentang bencana ekologis—tanah longsor, terganggunya aliran air, dan ancaman kesehatan—bukan lagi ramalan, melainkan kepastian yang menunggu waktu.
Pertanyaan krusialnya bukan lagi apakah ini ilegal, tetapi siapa yang membiayai impunitas ini? Siapa pemodal yang berada di balik inisial DN(USG) yang seolah kebal hukum? Dan yang paling penting: mengapa hingga berita ini diturunkan, kepolisian dan instansi terkait memilih bungkam seribu bahasa?.
Keheningan aparat bukan hanya sekadar absennya keterangan resmi; itu adalah pengakuan diam-diam bahwa ada kekuatan di atas hukum yang sedang beroperasi di Kabil. Aktivitas tambang yang terus berjalan tanpa hambatan adalah bukti nyata bahwa di Batam, kepentingan segelintir pemodal telah menggadaikan ekosistem, kesehatan warga, dan harga diri penegakan hukum.
Sampai kapan kita harus menyaksikan drama eksploitasi yang merobek bumi pertiwi ini? Atau, jangan-jangan, inilah wajah asli keadilan di negeri ini: keras kepada rakyat kecil, lunak kepada para pemodal yang berani bayar mahal?. [ALBAB]