SINGKIL — Pengelolaan Dana Desa di Kampung Kuta Simboling, Kecamatan Singkil, Kabupaten Aceh Singkil, disorot tajam. Proyek rehabilitasi jembatan pinggir sungai, yang sejatinya bertujuan mulia untuk menunjang mobilitas dan ekonomi warga, kini terancam mandek dan menuai konflik setelah terindikasi kuat dibangun di atas tanah milik warga tanpa adanya izin resmi.
Alokasi APBN melalui Dana Desa (DD) tahun anggaran 2025 senilai Rp 24,9 juta untuk proyek swakelola ini, kini seperti terjerumus ke dalam kubangan masalah prosedur dan kepatutan.
Papan proyek mencantumkan waktu pelaksanaan 30 hari kalender, dikerjakan oleh Tim Pelaksana Kegiatan (TPK) Kuta Simboling. Namun, per hari Minggu (12/10/2025), batas waktu pengerjaan telah lewat, sementara jembatan itu jauh dari kata rampung. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa dana publik senilai puluhan juta rupiah itu kini teronggok dalam ketidakpastian.
Lahan “Siluman” dan Proyek Mangkrak
Muhir, salah seorang warga setempat, tak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Ia menunjuk langsung ke akar persoalan: penggunaan lahan. “Proyek itu belum siap seratus persen, padahal waktunya sudah lewat. Katanya ada masalah karena lahan tempat jembatan dibangun belum mendapat izin dari pemiliknya. Tapi pekerjaan tetap dilaksanakan,” ujarnya kepada awak media, dengan nada suara yang menuntut kejelasan.
Pengakuan Muhir ini bukan isapan jempol belaka. Rehabilitasi jembatan tersebut, menurutnya, berdiri tegak di atas properti warga lain tanpa selembar pun surat persetujuan dari pemilik yang sah.
Ini menimbulkan pertanyaan fundamental: atas dasar apa TPK Kuta Simboling dan Pemerintah Kampung berani meloloskan dan melaksanakan proyek yang secara hukum rawan sengketa? Mengapa persetujuan lahan, sebagai prasyarat utama sebelum proyek fisik dimulai, diabaikan begitu saja?
“Ini menimbulkan tanda tanya mengenai prosedur dan dasar pelaksanaan proyek tersebut,” tegas Muhir, mempertanyakan integritas proses perencanaan dan pelaksanaan Dana Desa.
Kepala Kampung Berlindung di Balik Niat Baik
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Kampung Kuta Simboling, Junaidi, hanya mampu memberikan penjelasan sebatas tujuan umum proyek.
Ia menyatakan bahwa pembangunan jembatan ini krusial untuk memperbaiki akses warga melintasi sungai dan “meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar.”
Namun, penjelasan normatif Junaidi tidak sedikit pun menyentuh persoalan utama: dugaan penggunaan lahan warga tanpa izin. Niat baik untuk kesejahteraan ekonomi tidak dapat dijadikan tameng untuk melanggar prosedur hukum dan mengangkangi hak milik warga.
Kelalaian fatal ini berpotensi besar menyeret Pemerintah Kampung ke dalam sengketa perdata, bahkan dugaan penyalahgunaan wewenang terkait Dana Desa.
Ancaman Konflik dan Tuntutan Transparansi
Kasus Kuta Simboling ini menjadi preseden buruk dalam tata kelola Dana Desa, dana yang sejatinya harus dikelola secara transparan dan akuntabel.
Kegagalan TPK menyelesaikan urusan administrasi lahan sebelum memancangkan tiang jembatan menunjukkan lemahnya perencanaan dan koordinasi di tingkat kampung.
Muhir mewakili suara warga yang mendesak. Ia berharap Pemerintah Kampung segera mengambil langkah konkret untuk menyelesaikan persoalan lahan ini.
“Agar proyek tersebut dapat digunakan sesuai peruntukannya tanpa menimbulkan konflik di kemudian hari, apalagi dana yang dibangunkan tersebut berasal dari dana desa,” tutupnya, memberikan tekanan bahwa dana publik harus dipertanggungjawabkan hingga tuntas, bebas dari potensi masalah hukum dan sosial di kemudian hari.
Saat ini, Dana Desa senilai Rp 24,9 juta itu bagai diujung tanduk, terhenti bukan karena kekurangan biaya, melainkan karena ambiguitas lahan.
Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil didesak untuk segera turun tangan melakukan audit investigatif terhadap TPK dan Pemerintah Kampung Kuta Simboling, tidak hanya terhadap realisasi fisik, tetapi juga terhadap kepatuhan prosedur penggunaan anggaran yang bersumber dari APBN tersebut. [ER.K]