TROL – Diawal pemerintahan Prabowo-Gibran, masyarakat Indonesia “dihibur” dengan pertunjukan Liga Korupsi dimana beberapa korupsi berkelas “Premier” berhasil disajikan keruang publik yang kemudian oleh Media – Media besar disuguhkan dalam bentuk Papan klasemen. Tak Tanggung-tanggung, lebih dari 1.500 Triliun hasil keringat rakyat dan hasil bumi Indonesia yang dikantongi para koruptor papan atas berhasil diuangkap dan diurutkan sesuai “prestasinya” dalam Divisi Utama Liga Korupsi Indonesia.
Oleh media, Sajian Klasemen Liga Korupsi Indonesia ini pun kemudian disuguhkan layaknya sebuah pertandingan olah raga dimana setiap kasus yang terungkap akan memperbarui papan klasemen sesuai dengan raihan poinnya. Layaknya sebuah prestasi, masyarakatnya sangat antusias mengikuti perkembangan terbaru dari klasemen penghisap darah rakyat itu.
Saat ini yang bertengger dipapan atas “Divisi Utama” Liga Korupsi Indonesia merupakan lembaga dan perusahaan Negara tingkat pusat seperti Pertamina yang kokoh menduduki peringkat pertama dengan raihan poin yang fantastis, 968,5 Triliun, PT Timah 300 Triliun di peringkat kedua dan BLBI 138 Triliun yang duduk manis diperingkat ketiga. Duta Palma, PT TPPI, PT ASABRI, PT Jiwasraya, Kemensos, Sawit CPO dan Garuda Indonesia secara berurutan menduduki 10 besar papan atas klasemen.
Terlepas dari proses hukum yang sedang dijalankan, Keseriusan pemerintah pusat dalam mengungkap skandal koruptor kelas atas ini setidaknya sedikit menyenangkan hati masyarakat dalam himpitan ketidakpastian ekonomi di Indonesia. Akan tetapi, kegagahan pemerintah pusat ini tidak diimbangi di level pemerintahan dibawahnya. Hanya beberapa provinsi dan kabupaten yang ikut mencoba “menghajar” atau mencegah para koruptor agar dapat sejalan dengan program panglima tertinggi Republik Indonesia ini.
Dari pengamatan tim investigasi TROL, komitmen terhadap penyeledikan, pengawasan dan upaya pencegahan korupsi tingkat daerah hanya digaungkan dibeberapa daerah di Indonesia. Tingkatan levelnya pun baru sebatas tingkat Provinsi, baik yang terkait langsung dengan kepala pemerintahannya maupun dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) serta Badan Usaha Milik Daerah. Komisi Anti Korupsi (KPK) pun sepertinya masih fokus menargetkan koruptor “papan atas” yang memili nilai korupsi fantastis, sedangkan untuk kompetisi korupsi “kelas ringan” di level pemerintahan kabupaten/kota dan pemerintahan desa masih belum menjadi sasaran penyelidikan.
Secara logika jika kita ingin membandingkan nilai korupsi sesuai dengan klasemen liga korupsi yang terdiri dari kementrian dan BUMN, potensi korupsi di OPD di tingkat Kabupaten/Kota dan Pemerintahan Desa, secara kolektif sangat memungkinkan mengimbangi raihan prestasi dari penguasa klasemen liga korupsi Indonesia. Sebagai contoh Salah satu sumber yang paling rentan korupsi adalah Dana Desa yang bahkan KPK sendiri mengingatkan bahwa anggaran ini sangat rawan penyalahgunaan dan penyelewengan.
Sejak tahun 2015-2024 Pemerintah mencatat telah menyalurkan lebih dari 610 Triliun rupiah. Dana ini dikelola langsung oleh kepala desa untuk membangun desanya masing-masing. KPK menyebutkan, dari tahun 2015-2024 terdapat 851 kasus yang mana 50% pelakunya adalah kepala desa. Kasus yang masuk ke KPK ini merupakan hasil dari pengembangan dan penyelidikan setelah menerima laporan dari masyarakat. Data tersebut hanya dari kasus-kasus yang terungkap. Bagaimana dengan kasus-kasus yang belum terungkap karena memang pada kenyataannya Dana Desa minim pengawasan.
Melansir dari metrotvnews.com, Guru Besar Bidang Antropologi sekaligus Kepala Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) Universitas Gajah Mada (UGM), Bambang Hudayana mengatakan aparat penegak hukum sulit mengawasi penggunaan dana di lebih 70 ribu desa di seluruh Indonesia.
KPK mengidentifikasi empat faktor penyebab tingginya korupsi sektor desa. Minimnya pemahaman masyarakat tentang pembangunan desa dan pengelolaan anggaran menjadi salah satu penyebab utama. Selain itu, belum optimalnya fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam pengawasan, keterbatasan akses informasi masyarakat, serta ketidaksiapan kepala desa dalam mengelola dana besar turut memperburuk situasi.
Dilansir dari kompas.id, Menurut analisisa data yang berhasil dihimpun oleh tim jurnalisme data hariannya, Modus paling banyak yang dilakukan pelaku penyimpangan adalah memalsukan laporan dan kegiatan.
Dalam memalsukan laporan, tentunya tidak dapat dilakukan oleh satu orang perangkat desa. Untuk memuluskan aksi ini tentunya melibatkan beberapa orang yang tentunya orang-orang yang memiliki wewanang dalam pembuatan, persetujuan dan pengawasan laporan seperti Badan Pengawasan Desa(BPD), Kepala desa, Sekretaris dan Bendahara.
Dalam praktiknya, pengelolaan dana desa cenderung tertutup. Jika kita bertanya kepada warga desa, “Apakah kamu tahu berapa besar anggaran yang diterima desa tahun ini dan digunakan untuk apa saja?” mayoritas warga akan menggelengkan kepala. Kurangnya akses terhadap informasi publik menjadi salah satu penyebab utama mengapa penyimpangan dana desa sulit dideteksi sejak dini.
Tidak semua pemerintah desa secara terbuka mengumumkan laporan keuangan mereka. Seharusnya, penggunaan dana desa dapat diakses dengan mudah melalui papan informasi desa, situs resmi, atau media sosial. Namun, realitanya, banyak desa yang tidak memiliki sistem dokumentasi yang transparan. Bahkan, di beberapa daerah, laporan penggunaan dana desa hanya dicatat di buku yang tidak pernah diperlihatkan kepada warga.
Dibeberapa desa yang sebagian warganya mulai mengerti tentang peran serta masyarakat dalam pengawasan sampai terjadi keributan saat warga yang punya keberanian menggebrak untuk meminta akses informasi pengelolaan dana desa kepada kepala desa. Sedangkan mayoritas desa lainnya di Indonesia, informasi ini masih tertutup, bahkan dibeberapa pemberitaan warga sampai dikesalkan oleh aparatur desa dengan pernyataan bahwa kewajiban desa dalam menyampaikan laporan pengelolaan dana desa hanya kepadae pemerintahan diatasnya, sedangkan warga tidak berhak untuk mengetahuinya.
Dari data-data faktual yang dihimpun tim TROL, kasus yang teridentifikasi hanya 851 Desa atau 1,1% dari total 75.265 Desa. Jika kita berandai-andai dari nilai 610 Triliun lebih dana desa yang dikucurkan kita kalikan persentase kasus, maka lebih dari 6,8 Triliun anggaran yang dinikmati oleh para pengkhianat ditingkat desa. Dengan jumlah poin ini, jika format Liga Korupsi Indonesia terdiri dari 20 Tim, maka sepertinya Dana Desa berhak meraih slot dalam Divisi Utama Liga Korupsi Indonesia. [SR- Tim]