Sumbawa Besar | NTB,– Menyusul pemberitaan di media online yang menyoroti desakan Anggota Komisi IV DPR RI, Johan Rosihan, agar pemerintah menindak pengusaha dan tengkulak yang membeli jagung di bawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP), serta inspeksi mendadak yang dilakukan Wakil Bupati Sumbawa, Drs. H. Mohamad Ansori ke sejumlah perusahaan jagung pada Kamis (10/4/25), pelaku usaha jagung di Kabupaten Sumbawa akhirnya buka suara.
Dalam siaran pers yang diterbitkan Selasa (15/4/25), perwakilan pengusaha jagung di Sumbawa menyampaikan keprihatinannya terhadap kebijakan HPP jagung nasional sebesar Rp5.500 per kilogram. Menurut mereka, kebijakan tersebut tidak mencerminkan realitas kondisi di lapangan, khususnya di wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB), yang tengah menghadapi stagnasi penyerapan jagung secara masif.
“NTB merupakan salah satu sentra produksi jagung nasional, tetapi tidak memiliki industri pakan ternak berskala besar. Jagung dari NTB harus dikirim ke Pulau Jawa agar dapat diserap industri, dengan biaya logistik mencapai Rp700/kg. Ini membuat harga jagung tidak bisa mengikuti HPP yang ditetapkan,” ujar salah satu pelaku usaha jagung lokal.
Situasi tersebut menyebabkan pasar jagung menjadi stagnan, stok menumpuk di gudang, dan petani kehilangan kepastian harga. Di sisi lain, para pelaku usaha juga mengalami tekanan karena tidak adanya kepastian margin keuntungan.
Salah satu kritik utama yang disampaikan pengusaha adalah ketiadaan peran aktif dari Perum BULOG dalam menyerap jagung petani secara langsung di NTB. Menurut mereka, seharusnya BULOG sebagai buffer stock nasional hadir di tengah krisis harga, bukan absen.
“Ironisnya, institusi yang seharusnya menjadi penyangga pasar justru tidak memainkan peran. Akibatnya, petani dan pengusaha lokal menanggung seluruh risiko dari ketimpangan distribusi nasional yang tidak adil.”
Jika kondisi ini tidak segera diatasi, NTB berpotensi mengalami penurunan minat tanam jagung pada musim berikutnya. Biaya produksi yang terus meningkat tanpa jaminan harga yang layak akan mendorong petani, terutama generasi muda, untuk beralih ke komoditas lain atau meninggalkan pertanian.
Pengusaha menegaskan bahwa mereka bukanlah pihak yang menyebabkan harga jatuh, melainkan sama-sama terdampak oleh kebijakan pusat yang tidak mempertimbangkan biaya logistik dan struktur industri di daerah.
“Tanpa insentif, subsidi angkut, atau keterlibatan nyata BULOG, memaksakan HPP sama dengan memaksa kami merugi. Kami bukan lawan petani, tapi mitra dalam rantai pasok pangan nasional. Jangan jadikan kami kambing hitam dari sistem yang tidak kami ciptakan.”
“Kami bukan musuh petani, kami mitra. Tapi kami butuh dukungan nyata dari pemerintah agar tetap bisa menjalankan peran kami, dan kami siap mendukung petani dan pemerintah. Tapi harus dengan kebijakan yang realistis” pungkasnya.
Dengan pernyataan ini, para pelaku usaha berharap pemerintah tidak hanya fokus pada pencitraan kebijakan, tetapi benar-benar hadir di tengah persoalan untuk menjaga stabilitas harga dan kesejahteraan petani. (An)