Mantan wartawan Serambi era 90 an, H, M. Amru saat Foto Bersama prof. Kamarudin Hidayat ketua Dewan Pers, ketua dan Sekretaris PWI Aceh Nasir Nurdin dan M Zairin
Jakarta – Perpecahan internal yang telah lama membekap Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) mencapai titik puncaknya. Kongres PWI 2025 yang diselenggarakan di Gedung BPPTIK Kementerian Komunikasi dan Digital, Cikarang, Jawa Barat, sejak 29 Agustus 2025, menjadi arena pertarungan untuk menentukan arah masa depan organisasi profesi tertua di Indonesia ini.
Peristiwa ini tak hanya menjadi ajang suksesi kepemimpinan, tetapi juga penentuan nasib PWI yang citranya tercoreng.
Konflik ini berakar dari Kongres Bandung 2023 yang melahirkan kepengurusan di bawah pimpinan Hendry Ch. Bangun. Namun, serangkaian masalah, terutama terkait isu “nila setitik” yang merusak “susu sebelanga”, memicu gelombang perlawanan. Puncaknya, Kongres Luar Biasa (KLB) di Jakarta pada 2024 menetapkan Zulmansyah Sekedang sebagai Ketua Umum.
Dualisme yang berkepanjangan ini tak hanya membelah PWI, tetapi juga mengundang intervensi dari berbagai pihak, termasuk Wakil Menteri Komunikasi dan Digital serta Dewan Pers.
Dua Kubu Bertarung: Memilih antara Pemulihan dan Kontinuitas
Panggung Kongres 2025 kini menampilkan dua pasang calon Ketua Umum dan Ketua Dewan Kehormatan PWI periode 2025-2030 yang siap bertarung.
Pasangan pertama, Akhmad Munir (Direktur Utama LKBN Antara) dan Atal S. Depari (mantan Ketua Umum PWI Pusat periode 2018-2023), hadir sebagai representasi “susu sebelanga” yang menuntut pemulihan.
Mereka didukung oleh Zulmansyah Sekedang, mantan Ketua Umum PWI versi KLB, yang memilih bergabung untuk memperkuat barisan perbaikan.
Di sisi lain, pasangan petahana Hendry Ch. Bangun (Ketua Umum PWI Pusat versi Kongres Bandung) dan Sihono MT (PWI Provinsi Yogyakarta) kembali mencalonkan diri.
Kehadiran Hendry dalam bursa pencalonan ini, menurut seorang wartawan senior dan mantan wartawan Serambi H. Muhammad Amru, sungguh ironis. “Kalau di Jepang, si pelaku nila setitik itu sudah melakukan hara-kiri,” ujarnya. “Hebatnya di sini, pelaku nila setitik itu malah bisa hara-hura, dalam artian bisa ikut nyalon lagi pada kongres yang telah didesain sedemikian rupa, sehingga nila setitik rusak susu sebelanga itu tidak perlu di pertanggung jawaban.”
Menurut pandangan sebagian besar anggota, pasangan Akhmad Munir dan Atal S. Depari dinilai paling layak untuk memimpin PWI ke depan.
Dengan rekam jejak yang kredibel, terutama Akhmad Munir atau yang akrab disapa Cak Munir, mantan Ketua PWI Jawa Timur dua periode, mereka diharapkan mampu mengembalikan kepercayaan publik dan mitra yang selama ini merosot.
Tanggung Jawab Besar di Tengah Krisis: Jalan Terjal PWI ke Depan
Siapa pun yang terpilih pada Sabtu malam, 30 Agustus 2025, akan menghadapi tantangan berat.
PWI saat ini berada di tengah krisis multidimensi. Pertama, menyatukan dua kubu yang terbelah dan terluka secara emosional. Kedua, memulihkan kepercayaan publik, pemerintah, dan mitra yang telah anjlok. Ketiga, mengatasi persoalan ekonomi organisasi yang selama ini bergantung pada kerja sama pihak ketiga.
Oleh karena itu, kepengurusan baru PWI periode 2025-2030 harus segera menerapkan manajemen krisis. Tahapan-tahapannya tidak bisa lagi berjalan linier.
Perencanaan dan pencegahan harus berjalan beriringan dengan respons cepat. Tim baru wajib segera diaktifkan untuk mengendalikan situasi dan membangun komunikasi yang efektif, sambil secara bersamaan merancang strategi pemulihan reputasi.
Membangun kembali kepercayaan adalah pekerjaan yang membutuhkan waktu lama. Seperti kata pepatah, “Trust takes years to build, seconds to break, and forever to repair.”
Pencarian Tokoh Berintegritas dan Kebangkitan PWI
Pengamat menilai, salah satu akar masalah ini adalah lemahnya sistem organisasi dan kelangkaan tokoh senior yang berwibawa. “Penyelesaian kasus ini tidak bisa mandiri, membutuhkan uluran tangan dari luar, menjadi bukti bahwa sistem PWI lemah namun tokoh-tokohnya keras kepala,” ujar H. Amru,”.
Hal ini juga menjadi lonceng peringatan, bahwa di PWI tengah terjadi kelangkaan tokoh-tokoh senior yang berwibawa, bijak, sikap dan wawasannya mencerahkan.”
Untuk mengatasi kelemahan ini, kepengurusan baru diwajibkan didukung oleh kabinet yang profesional, kredibel, dan berintegritas.
Pelatihan kepemimpinan PWI secara berjenjang juga menjadi solusi mendesak untuk membentuk karakter pengurus yang seragam dan sesuai dengan nilai-nilai organisasi.
Kongres ini menjadi momen strategis sekaligus krusial untuk memilih pemimpin yang “tangannya tidak belepotan nila” agar dapat “memutihkan kembali susu sebelanga yang kadung rusak”. Hasil kongres pada malam ini akan menjadi jawaban konkret, apakah PWI akan memasuki babak baru pemulihan atau justru terperosok lebih dalam. []