Sumbawa Besar|NTB, Jum’at (18/04/2025),– Sejumlah sopir dan buruh angkut gabah di Kabupaten Sumbawa meluapkan kekecewaan mereka terhadap kebijakan tarif angkutan yang ditetapkan oleh Perum BULOG. Pasalnya, dalam pelaksanaan di lapangan, mereka hanya menerima setengah dari tarif resmi yang diumumkan pemerintah, sementara beban operasional mereka terus meningkat.
Keluhan ini mencuat seiring diberlakukannya kebijakan baru sejak 15 Januari 2025, di mana Perum BULOG secara nasional mulai menyerap gabah dan beras petani berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pangan Nasional Nomor 2 Tahun 2025 tentang Perubahan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dan Rafaksi Harga Gabah dan Beras. Dalam ketentuan tersebut, Gabah Kering Panen (GKP) dibeli dengan harga Rp 6.500/kg untuk kualitas kadar air maksimal 25% dan kadar hampa maksimal 10%.
Sebagai bagian dari implementasi kebijakan tersebut, BULOG Kanwil NTB juga menetapkan tarif angkutan gabah sebesar Rp 200/kg yang berlaku mulai 12 Maret hingga 30 April 2025. Tarif ini mencakup ongkos naik gabah dari tepi jalan sawah ke truk, serta ongkos kirim ke mitra makloon atau penggilingan yang bekerja sama dengan BULOG. Biaya ini disebut sudah termasuk pajak dan ongkos buruh angkut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun kenyataannya, para sopir dan buruh hanya menerima antara Rp 100 hingga Rp 175 per kilogram, itupun harus dibagi dua. Padahal, mereka tetap harus menanggung biaya bahan bakar, ongkos kerja buruh, serta perawatan armada.
“Kami sangat kecewa dengan pihak BULOG Kabupaten Sumbawa. Tarif resminya Rp 200/kg, tapi yang kami terima hanya Rp 100 bahkan kadang Rp 175/kg, dan itu pun harus dibagi dua. Sementara kami tetap harus beli BBM, bayar buruh, dan rawat kendaraan. Ini sungguh tidak adil,” ungkap seorang sopir angkutan kepada media ini, kamis (17/4/2025).
Lebih lanjut, sopir tersebut juga menyoroti sistem pembayaran gabah kepada petani yang dinilai tidak lancar. Meski gabah sudah diambil, pembayaran oleh BULOG kerap tertunda dua hingga tiga hari.
“BULOG bahkan diduga memakai pihak ketiga untuk mengurus pembayaran angkutan dan buruh. Kami heran, apakah BULOG tidak punya dana sendiri sampai harus melibatkan pihak lain? Padahal BULOG adalah badan usaha milik negara (BUMN). Ini sangat mengganggu kelancaran kerja kami di lapangan,” tambahnya.
Para sopir dan buruh merasa seolah-olah hanya menjadi roda penggerak tanpa perlindungan yang layak. Mereka berharap keluhan ini didengar langsung oleh Presiden Prabowo dan ditindaklanjuti oleh pemerintah pusat maupun daerah.
“Kami hanya ingin keadilan dan perlakuan yang wajar. Jangan sampai program yang bertujuan menyejahterakan petani justru menciptakan penderitaan baru bagi kami yang turut mendukung rantai distribusi pangan nasional,” tandasnya.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari Perum BULOG Kabupaten Sumbawa terkait keluhan para sopir dan buruh tersebut. Mereka berharap suara mereka bisa menjadi perhatian semua pihak agar proses penyerapan gabah tidak hanya bermanfaat bagi petani, tetapi juga adil bagi semua pihak yang terlibat di lapangan. (Red)