Lhokseumawe – Komisi Independen Pemilihan (KIP) Lhokseumawe mendapat sorotan tajam dari masyarakat terkait dugaan kurangnya transparansi dalam pengelolaan anggaran debat publik. Sebagian besar masyarakat mulai mempertanyakan pengelolaan dana yang dinilai tertutup dan menimbulkan kecurigaan adanya kolusi antara KIP dengan pihak event organizer (EO) yang terlibat.
Anggaran Besar Tanpa Kejelasan Detail
KIP diketahui telah mengalokasikan anggaran yang cukup besar untuk debat publik. Namun, hingga kini publik hanya diberi informasi mengenai beberapa aspek dasar saja, seperti biaya sewa gedung, tanpa rincian lebih lanjut. Saat Ketua KIP dimintai rincian lengkap penggunaan anggaran, ia menyatakan tidak ada kewajiban untuk membuka detailnya ke publik. Sikap tertutup ini semakin memicu spekulasi bahwa anggaran yang besar tidak dikelola secara transparan, dan kemungkinan terdapat penggunaan dana yang tidak efisien atau bahkan tidak tepat sasaran.
Kualitas Layanan dari EO yang Dipertanyakan
Pihak EO yang ditunjuk, Salingdina, ternyata mendapat keluhan dari masyarakat terkait layanan teknis selama debat berlangsung. Banyak yang mengeluhkan masalah teknis seperti suara yang putus-putus dan alat-alat yang tidak bekerja dengan baik. Publik pun mempertanyakan, dengan dana yang cukup besar, mengapa kualitas layanan dari EO justru terkesan minim? Hal ini memunculkan dugaan bahwa anggaran yang diberikan tidak digunakan untuk memberikan layanan terbaik atau bahwa pihak EO tidak memenuhi ekspektasi sesuai dengan dana yang diterima.
Indikasi Persekongkolan dengan EO
Dalam penunjukan EO untuk debat, tidak ada aturan khusus yang membatasi pilihan KIP, sehingga mereka memiliki keleluasaan besar dalam memilih EO. Minimnya transparansi mengenai mekanisme penunjukan EO menimbulkan dugaan adanya hubungan dekat antara KIP dan EO tersebut. Pernyataan dari KIP bahwa dana langsung disalurkan ke rekening EO tanpa rincian kepada publik semakin memperkuat kecurigaan bahwa proses ini mungkin melibatkan persekongkolan.
Keluhan Publik Terabaikan
Isu ini menciptakan kekecewaan besar di tengah masyarakat. Harapannya, debat publik yang diadakan dengan anggaran besar seharusnya dapat memberikan layanan berkualitas tinggi sebagai wujud penghormatan terhadap proses demokrasi. Namun, kenyataannya justru menampilkan masalah teknis yang mengganggu, seolah-olah anggaran yang besar itu tidak dimanfaatkan secara profesional.
Desakan untuk Audit dan Pengawasan
Publik kini menyerukan agar dilakukan audit independen terhadap penggunaan anggaran KIP, termasuk alokasi dana kepada EO. Langkah ini dinilai penting untuk membuka dugaan-dugaan yang beredar dan memastikan bahwa dana yang dialokasikan untuk pilkada digunakan secara transparan dan akuntabel. Beberapa pengamat juga menyarankan agar inspektorat dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) turun tangan mengawasi seluruh proses perencanaan dan pelaksanaan anggaran.
Kesimpulan
Kasus ini menunjukkan bahwa transparansi dan akuntabilitas yang seharusnya menjadi nilai utama dalam pelaksanaan pilkada justru diragukan. Jika dugaan persekongkolan ini benar, ini akan menjadi tamparan bagi proses demokrasi yang bersih. Masyarakat berharap agar ada pengawasan ketat dari lembaga pengawas dan penegak hukum untuk memastikan pilkada berjalan tanpa intervensi atau persekongkolan yang merugikan rakyat. ( Red – Rls)